Friday, July 14, 2017

√ Tipologi Kepemimpinan Transformasional #Bagian 3

AsikBelajar.Com | Sambungan dari artikel Tipologi Kepemimpinan Transformasional #Bagian 2, inilah belahan ke 3nya:


satu misalnya yaitu di ketika pemimpin transformasional menganjurkan bentuk kejujuran, disiplin, dan kerja keras, maka ia secara konsisten dan kredibel dengan ucapan-ucapan tersebut bisa membangun bentuk dari kejujuran, kedisiplinan, dan kerja keras. Dengan keselarasan tersebut, pemimpin transformasional bisa menjadi uswah hasanah bagi seluruh komponen organisasi pendidikan.


Memang pada sisi internalitas pemimpin transformasional sendiri, ia sangat menjaga kredibilitasnya sebagai pemimpin yang ingin membawa organisasi pendidikan pada nilai dan moral yang tinggi. Berdasarkan keinginan tersebut, ia menerapakan standar dan patokan yang ketat untuk dirinya sebagai pembingkaian nilai dan moral yang ia inginkan. Pada praktik-praktik keorganisasian pemimpin transformasional menjadi pola yang baik sebagai pemberi perintah dan pola melalui perilaku; ketika ia menyuruh karyawannya untuk berseragam rapi, ia sendiri yang lebih rapi seragamnya. Ketika ia mengajak karyawannya untuk jujur dan jangan korupsi, ia menimbulkan dirinya teladan untuk berkata jujur dan jangan korupsi, ia menimbulkan dirinya sebagai teladan untuk berkatajujur dan tidak korupsi (Suryanto, 2007:212).


Dalam bahasa lain, pemimpin transformasional secara konsistensi menerapkan kesesuaian antara perkataan sikap dan fakta organisasi untuk menemukan momentum atau pijakan yang sempurna dalam pengembangan organisasi pendidikan. Jika hal tersebut tidak sanggup diwujudkan, pemimpin transformasional akan sulit untuk membawa perubahan dalam organisasi pendidikan, bahkan pemimpin akan sulit memilih antara hasil dan impian organisasi pendidikan. Faktanya memang sulit membawa perubahan -baca pengembangan dalam organisasi, sebagaimana yang dikemukakan bahwa the development experience of the past half-century has taughtjust how difficult it is to bring about changes simply through the imposition of control and direction. It has also demonstrated that what encourages people to change is often a very complex and abstract mixture of objectives and expectations, with some elements of concern from society at large, but with a heavy emphasis on individual rewards (Lopes, 2003 :92)


Selanjutnya intellectual perseverance yang merupakan pola pemimpin “ransformasional yang mengindikasikan kekuatan budi kritis terhadap informasi, pengetahuan, ilmu, dan gagasan/ide yang masuk pada dirinya. Pemimpin transformasional dengan intellectual perseverance bisa untuk memperlihatkan umpan balik yang bijak, poros tengah dan tidak memihak. Di tataran ini, pemimpin transformasional perlu secara cendekia untuk menempatkan dirinya pada kapling proporsionalitasnya antara sosok manajer dan pemimpin dalam mengelola relasi dan organisasi itu sendiri (Caveleri, 2005:25). Artinya, pemimpin transformasional secara akseleratif perlu untuk berbagi kemampuan dan potensialitasnya yang sesuai dengan arah kebutuhan, sehingga ia perlu untuk memeras keringat untuk berpikir membawa perubahan dalam organisasi pendidikan.


Keinginan besar ini yang membawa pemimpin transformasional pada sikap yang meragukan kemalasan berpikir… ia merengangkan pikirannya sehingga pikirannya menjadi hidup, menjadi kritis dalam menghadapi suatu keadaan. Ketika ia mendapatkan laporan keburukan perihal seseorang ia tidak pribadi percaya, tetapi ia pelajari dan pahami… ia tidak mengambil kesimpulan tanpa melihat sisi lain dari orang itu. Dengan tenggang rasa ia berpikir dengan jalan tengah dan tanpa standar ganda (Suryanto: 2007:217). Dengan pola yang demikian, komponen organisasi pendidikan akan berjalan secara serempak mengikuti irama yang dimainkan pemimpin transformasional tanpa ada ketimpangan yang menimbulkan jalanannya roda organisasi pendidikan terseok-seok.


Pola pikir pemimpin transformasional berikutnya yaitu intellectual autonomy. Pola pikir pemimpin transformasional yang demikian merupakan bentuk kemampuan berpikir sosok pemimpin yang memiliki keinginan untuk memerdekakan komponen organisasi pendidikan. Keinginan yang besar lengan berkuasa ini mendorongnya untuk melatih pikiran komponen organisasi pendidikan menjadi lebih mandiri, otonom, dan independen untuk tidak lagi bergantung pada siapa pun sebagai sumber daya insan yang merdeka dalam organisasi. Bahkan pemimpin transformasional melatih mereka mengasah pikirannya sendiri dan mengajari mereka dengan prinsip-prinsip berpikir yang baik, benar, tepat, berguna, positif, dan sebagainya.


Pelajaran yang sanggup dipetik pada aspek ini yaitu pemimpin transformasional merancang organisasi pendidikan melalui “siapa pun” orangnya. Akan tetapi, berbeda dengan pemimpin lainnya yang hanya bisa merancang organisasinya dengan merekrut orang-orang terbaik. Kondisi yang demikian menjadi suatu momok yang seram sebagaimana yang digambarkan oleh David Rock (2007:36-37) bahwa


most large organizations are now set up to hire only the best and the brightest, people who’ve already proven themselves to be highly successful individuals. Right here is one of the challenges: the more successful an individual is, the less you can tell them what to do, and the more you can only help them think betterfor themselves.


Kunci utama pada kerangka ini yaitu pemberdayaan yang terusmenerus dilakukan oleh pemimpin transformasional terhadap komponen organisasi pendidikan.


Bentuk nyata intellectual autonomy yang dimiliki oleh pemimpin transformasional yaitu sikap pemimpin yang secara luas memperlihatkan kebebasan yang memakai hukum pada komponen organisasi pendidikan. Bahkan pemimpin transformasional melatih karyawannya berpikir sehat, dan berpikir positif. Ketika karyawannya menghadapi masalah, ia memperlihatkan kesempatan kepada karyawannya untuk berpikir sendiri. Ia bebaskan karyawannya untuk berpikir… pemimpin transformasional tidak ingin bawahannya menyerupai budak… ia ingin karyawannya merdeka (Suryanti, 2007:219-221). Kebebasan yang diberikan kepada komponen organisasi pendidikan ini tidak serta-merta dibiarkan tanpa kendali, akan tetapi lebih mengarah pada dukungan kebebasan yang sesuai dengan hukum main organisasi pendidikan.


Berikutnya yaitu pola pikir intellectual reflective yang mengindikasikan sikap pemimpin transformasional yang memiliki kecerdasan untuk mengambil pesan yang tersirat atau pelajaran berharga, ilmu baru, pengalaman gres dari sekitar organisasi pendidikan. Pola pikir ini merupakan bentuk dialektika antara teori-teori dengan fakta yang ada di dalam atau luar organisasi pendidikan. Proses dialogis dua arah ini menimbulkan pemimpin transformasional lebih cendekia untuk menata pengetahuannya, kebijaksanaannya, atau bahkan pada proses pengambilan keputusannya. Oleh lantaran itu, lazim kalau kemudian banyak petuah-petuah yang mengalir dari rahin pemimpin transformasional merupakan petuah yang muncul dari alam semesta, ataupun dari kitab suci.


Fakta yang cukup menarik yaitu pemimpin transformasional sangat menghargai dan memanusiakan komponen organisasi pendidikan, bahkan ia berpikir keras untuk mengambil pelajaran dan serta mengambil sesuatu yang berharga dari komponen organisasi pendidikan dan lingkungannya yang sangat bermacam-macam yang tentunya berbeda dengan dirinya. Seakanakan lingkungan organisasi dan juga sumber daya organisasi menjadi lembar-lembar yang berisi ilmu pengetahuan yang bisa diverifikasi melalui kenyataan organisasi pendidikan. Pemimpin transformasional memiliki kemampuan untuk merefleksi kemudian mengambil pesan yang tersirat dan memilih cara pandang gres atau menambah keyakinan dirinya dan sebagainya. Proses ini tidak serta-merta tumbuh dan berkembang dari rahim pemimpin transformasional, akan tetapi ia tumbuh melalui proses dialektika-refiektif antara dirinya dengan komponen organisasi pendidikan.


Pemimpin transformasional sangat menyadari bahwa apa pun yang tampil di hadapannya, ada atau hadir dalam ruang dan waktu dirinya yaitu untuk mengajarinya sesuatu. Ia sadar, tidak ada apa pun kejadiannya di dunia ini yang random atau acak, kesemuanya melalui pengaturan yang sangat teliti dari sang maha pencipta (Suryanto, 2007:223). Hal ini berarti bahwa ada posisi transendental dalam diri pemimpim transformasional yang berimplikasi pada sisi sikap pemimpin yang memuliakan kemanusiaan komponen organisasi pendidikan. Pengaruh besar lengan berkuasa pada pola pikir ini memperlihatkan suatu tatanan pemberdayaan yang kontributif terhadap kinerja serta kepuasan komponen organisasi pendidikan, lantaran sikap atau pola kepemimpinan yang dikembangkan lebih menghargai sisi kemanusiaan yang diselaraskan dengan peningkatan produktivitas serta pengembangan kinerja komponen organisasi pendidikan.


Akan tetapi, kemampuan ini bagi seorang pemimpin tidak akan diperoleh dengan instan dan terjadi dengan sendirinya. Artinya, kemampuan ini perlu dibangun dengan kematangan proses yang alhasil secara umum dikuasai pribadi-pribadi yang memiliki kecerdasan demikian mengambil pesan yang tersirat illahiyyah dari segala hal yang tampil di hadapannya dan tidak menutup kemungkinan pemimpin juga mengambil pesan yang tersirat di lain dari yang transendental tersebut. Kecerdasan ini sangat memerlukan pribadi yang suci, kefokusan pada hal-hal yang bersifat imanen, dan -dalam bahasa agamamenjaga dirinya dari segala hal yang kotor, najis, berdosa dan selalu menempatkan dirinya untuk akrab dengan Tuhannya, sehingga yang muncul yaitu kepekaan batin untuk bisa mendapatkan limpahan pesan yang tersirat dan ilmu dari Tuhan. Dengan demikian, di dalam diri pemimpin terbangun kepekaan dan ketajaman batin yang bisa untuk memperoleh hikmah-hikmah kehidupan untuk kemajuan organisasi pendidikan dan aspek ini menjadi suatu pembeda antara pemimpin transformasional dengan pemimpin lainnya.


Pola pikir tersebut merupakan pola pikir yang sanggup dijadikan pembeda antara pemimpin transformasional dengan pemimpin lainnya. Walaupun demikian, pola pikir tersebut tidak menjadi keabsolutan hanya dimiliki oleh pemimpin transformasional, akan tetapi bisa saja pola pikir-pola pikir tersebut menjadi belahan internalitas dari pemimpin yang lain.. Adalah hal yang riskan kalau tipologi kepemimpinan transformasional menjadi kemutlakan bagi pemimpin itu sendiri.


Sumber:

Setiawan, Agus dkk. 2013. Transformasional Leadership (Ilustrasi di Bidang Organisasi Pendidikan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 196-200.



Sumber https://www.asikbelajar.com