Tuesday, March 13, 2018

√ Juara Lomba Resensi Novel Tere Liye Rindu

[Resensi Buku Non Fiksi] Novel Tere Liye Rindu – Tere Liye ialah seorang maestro dalam dunia pernovelan Indonesia. Karya-karya non fiksi (novel) yang diterbitkan selalu saja masuk ke jajaran buku terlaris dan terfavorit. Rindu, ialah salah satu judul novel yang ditulis Tere Liye di tahun 2014.






style="display:block"
data-ad-client="ca-pub-3435604455637462"
data-ad-slot="6906481178"
data-ad-format="link">




Sampai sekarang, novel Tere Liye Rindu masih banyak dicari. Oleh alasannya ialah itu, satriabajahitam akan coba untuk menuliskan resensi (bukan sinopsis, ya. Resensi dan sinopsis itu beda) buku novel Tere Liye Rindu ini, sebagai referensi bagi kalian yang akan membeli buku ini.




Detail Novel Tere Liye Rindu




 Tere Liye ialah seorang maestro dalam dunia pernovelan Indonesia √ Juara Lomba Resensi Novel Tere Liye Rindu





style="display:inline-block;width:300px;height:600px"
data-ad-client="ca-pub-3435604455637462"
data-ad-slot="4392989789">




republika.co.id

Judul Buku: Rindu


Penulis: Tere Liye


Editor: Andriyanti


Penerbit: Republika


Tahun Terbit: 2014


Tebal Buku: 544 Halaman






style="display:block"
data-ad-client="ca-pub-3435604455637462"
data-ad-slot="6906481178"
data-ad-format="link">






Resensi Novel Tere Liye Rindu




 Tere Liye ialah seorang maestro dalam dunia pernovelan Indonesia √ Juara Lomba Resensi Novel Tere Liye Rindu
sukamakancokelat.com

“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?”


Tere Liye Rindu, adalah sebuah novel yang menyuguhkan kesejukan di tengah novel-novel lain yang bertebaran di Indonesia. Rindu mengisahkan perihal perjalanan panjang Jamaah haji Indonesia pada tahun 1938, perihal Blitar Holland; sebuah kapal uap, perihal sejarah nusantara.


Dan tentu alasannya ialah judulnya Rindu, novel Tere Liye ini juga berputar pada pertanyaan perihal masa lalu, cinta, takdir, rasa benci, dan kemunafikan.


Tere Liye menuliskan novel Rindu ini dengan alur maju. Menurut saya ini sangat cantik sekali alasannya ialah pembaca sanggup dengan gampang mengikuti jalan cerita. Meskipun di beberapa bagian, Tere Liye menyelipkan kisah-kisah lain dalam bentuk dialog; tetapi cerdiknya, kisah tersebut masih punya hubungan dengan kisah utama yang tengah disajikan.


Sehingga, walaupun latar dalam novel Rindu ini didominasi oleh aktifitas para penumpang kapal upa Blitar Holland, tidak terasa membosankan dikala membacanya.






style="display:inline-block;width:336px;height:280px"
data-ad-client="ca-pub-3435604455637462"
data-ad-slot="4999672050">




Gaya penulisan yang khas dari Tere Liye tetap mewarnai novel Rindu ini. Sederhana, gampang dimengerti pembaca, dan menohok. Di beberapa dialog, Tere Liye menuliskan obrolan berbahasa Belanda; memang tidak disertakan artinya, tetapi pembaca sanggup memahami maksud dari obrolan itu dengan deskripsi dari Tere Liye.


Seperti pada halaman 35 novel Rindu ini,


“Mag ik uw kaatje, Meneer?” salah satu kelasi bertanya sopan, persis dikala Gurutta menginjak dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen perjalanan.


Tere Liye membuka novel Rindu dengan prolog yang unik. Beliau menukil fakta nusantara pada tahun 1938. Seperti sebuah fakta bahwa pada tahun tersebut Indonesia (masih berjulukan Hindia Belanda), mengikuti Piala Dunia di Prancis untuk pertama kalinya.


Selanjutnya, kapal uap Blitar Holland menjadi saksi seluruh kisah di novel Rindu setebal 544 halaman ini. Lalu sesudah itu, satu persatu tokoh mulai dimunculkan.


Novel yang baik ialah novel yang membuat pembaca jatuh cinta atau minimal simpati pada aksara / tokoh yang ada pada novel tersebut. Seperti aksara Dilan pada novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq, yang sangat memikat para pembacanya sampai-sampai berharap Dilan menjadi insan yang nyata.


Di novel Rindu, saya juga mencicipi hal yang hampir sama, tetapi bukan pada aksara pertama yang dimunculkan Tere Liye dalam novel tersebut.


Tokoh yang pertama kali dimunculkan berjulukan Daeng Andipati. Karakter Andipati ini sudah sangat banyak ditemui di novel-novel lain. Dia ialah pedagang kaya raya asal Makassar, pintar, dan baik hati. (hal. 11)


Di dalam novel tersebut, Daeng Andipati ialah salah seorang jamaah haji yang mengikutsertakan istri, dua anak, dan seorang pembantu; sosoknya kharismatik, terhormat, dan digambarkan sebagai orang yang dekat dengan orang Belanda.


Sekilas, tampak sekali Daeng Andipati ini orang yang bahagia. Kariernya sukses, punya anak istri yang baik dan shaleha; kehidupan yang didambakan semua orang. Tetapi kemudian diceritakan bahwa Daeng Andipati mempunyai hal tersembunyi di dadanya; hal yang membuat seluruh kehidupan Daeng Andipati seolah tidak ada artinya lagi.


Kebencian Daeng Andipati pada ayahnya.






style="display:inline-block;width:336px;height:280px"
data-ad-client="ca-pub-3435604455637462"
data-ad-slot="4999672050">




“… alasannya ialah kalau kamu kumpulkan seluruh kebencian itu, kamu gabungkan dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah Gori, kebencianku pada orang bau tanah itu masih lebih besar. Kebencianku masih lebih besar dibandingkan itu semua!” (hal. 362)


Namun, menarik. Tere Liye—seperti biasa- begitu lihai dalam mengarahkan pembaca semoga tidak terjebak pada konflik semacam tersebut tanpa pemecahan. Makara tenang saja, pernyataan perihal kebencian itu mempunyai tanggapan yang mendamaikan, sehingga siapapun pembaca yang sedang mengalami hal serupa … sanggup mengambil perilaku terbaik.


Kemudian tokoh yang dimunculkan Tere Liye, dan menghiasi perjalanan panjang jamaah haji di atas kapal uap Blitar Holland ialah dua kakak-beradik berjulukan Anna dan Elsa. Kedua tokoh ini menjadi pencair suasana. Saya bayangkan, mungkin novel Rindu ini akan berat dan membosankan tanpa kehadiran dua sosok ini.


Tere Liye sudah sangat berpengalaman dalam membuat aksara anak, menyerupai Delisa. Anna dan Elsa berkarakter periang, polos, dan menggemaskan. Cerita mereka dalam novel ini mendapatkan porsi yang tidak mengecewakan panjang.


Tere Liye sadar betul, bawah umur tidak pernah terlepas dari kehidupan kita. Mereka ialah penghibur hati. Dunia niscaya akan membosankan tanpa kehadiran anak-anak. Ini menjadi nilai plus novel Rindu. Ide perihal bawah umur yang membersamai orang remaja pergi haji agaknya belum pernah digunakan di novel manapun.


Lalu selanjutnya, Tere Liye menghadirkan sosok Ulama. Hal baru, berdasarkan saya, dalam karya Tere Liye. Nama tokoh Ulama yang dimunculkan ialah Ahmad Karaeng; sering dipanggil Gurutta. Seorang Ulama yang mempunyai ilmu dan keindahan adab.


Empat dari lima pertanyaan besar di novel Rindu, jawabannya keluar dari mulut Gurutta. Ulama yang bijak. Gurutta akrab sekali dengan orang-orang Belanda di kapal uap itu, bahkan ia sering duduk satu meja dengan Chef Lars, berbincang santai dengan Ruben si Boatswain, dan ikut terlibat pada urusan penting ketika berada di kapal bersama kapten Phillips.


Namun di luar semua kelebihannya, Ahmad Karaeng tetaplah insan biasa, ia menyembunyikan sesuatu; yang begitu dikhawatirkan dan mengganggu batinnya.


Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi ia tidak pernah sanggup menjawab pertanyaannya sendiri.


Lihatlah kemari wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi ia tidak pernah sanggup bijak untuk dirinya sendiri. (hal. 316)


Nampaknya, kisah cinta selalu menjadi sesuatu yang menarik dalam setiap novel. Dan memang sepertinya, di novel apapun selalu ada sepasang atau dua pasang yang muncul dengan keromantisannya. Begitupun di novel Rindu ini.


Saya amat terkesan dengan aksara pecinta di novel ini. Mereka bukan pasangan muda, alasannya ialah biasa sekali pasangan muda menjalin keromantisan. Tere Liye memunculkan kisah cinta seorang pasutri sepuh dari Semarang; namanya Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet. Paling sepuh, tetapi juga paling romantis.


“Pendengaranku memang sudah tidak cantik lagi, nak. Juga mataku sudah rabun. Tubuh bau tanah ini juga sudah bungkuk. Harus kuakui itu. Tapi saya masih ingat kapan saya bertemu istriku. Kapan saya melamarnya. Kapan kami menikah. Tanggal lahir semua bawah umur kami. Waktu-waktu indah milik kami. Aku ingat itu semua.” (hal. 205)


Lewat Rindu, Tere Liye seolah mengirimkan pesan khususnya pada kawula muda perihal referensi positif dari sebuah cinta sejati. Adalah Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet mencontohkan bahwa cinta sejati ialah yang usang dalam ber-rumah tangga, bukan pacaran.


Bukan kawula muda yang bergaul bebas, tanpa komitmen, dan melanggar batas-batas agama … atas nama cinta. Bukan.


Sayangnya, ada hal yang membuat dada sedikit sesak. Hal yang kemudian menjadi salah satu pertanyaan besar dalam novel Rindu ini.


Seorang cowok juga membawa tema cinta dalam novel Rindu ini. Dia berjulukan Ambo Uleng; kelasi pendiam yang suka merenung di hadapan jendela lingkaran kabin. Meskipun kemisteriusan Ambo Uleng gres diketahui di halaman 483, sebenarnya para pembaca sudah sanggup menebak-nebak apa yang terjadi pada Ambo Uleng ini.


“Aku hanya ingin meninggalkan semuanya, Kapten.” (hal. 33)


Ambo Uleng juga merupakan aksara yang membuat saya jatuh hati. Pasalnya ia punya semangat dalam mengaji meskipun harus belajar pada Anna, si gadih kecil yang pernah ia tolong dalam sebuah kejadian besar di Surabaya.


Kecakapan dan kecerdasan Ambo Uleng di novel Rindu menyertai beberapa adegan heroik yang terjadi dalam kisah setebal 544 halaman. Menariknya, satu dari lima pertanyaan besar terjawab dari tangan Ambo Uleng ini.


Pertanyaan yang bukan dari pejelasan mulut atau tulisan, tapi dengan perbuatan tangan. (hal. 540)


Tokoh terakhir yang dikisahkan novel Rindu ini ialah Bonda Upe; tokoh yang menjadi guru mengaji bawah umur di kapal uap Blitar Holland. Bonda Upe membuat saya simpati. Tere Liye menggambarkan suasana batin Bonda Upe dengan sangat sempurna.


Siapapun pembaca niscaya akan mencicipi sesuatu yang terpendam dalam dada wanita itu. Gelisah, sesak, pun ketika ia menemukan secercah cahaya yang membuatnya sanggup melihat hidupnya dengan perasaan yang lapang.


“Ma, kalau Bonda Upe itu orang China, kenapa ia Islam?”


“Koh Acan di Kampung Butung uga Islam, apanya yang aneh?” (hal. 108)


Di atas kapal uap, dalam perjalanannya ke Tanah Suci, Bonda Upe memboyong pertanyaan besar berkaitan dengan masa lalunya sebagai seorang cabo. Ada nasihat penting yang sanggup dipelajari dari kehidupan Bonda Upe, salah satunya ialah nilai ketulusan dari Enlai, suami Bonda Upe.


“Dia nrimo menyemangatimu, nrimo mencintaimu. Padalah, ia tahu persisi kamu seorang cabo. Sedikit sekali pria yang sanggup menyayangi seorang cabo. Tapi Enlai bisa, alasannya ialah ia mendapatkan kenyataan itu. Dia peluk erat sekali. Diabahkan tidak mengalah meski kamu telah menyerah. Dia bahkan tidak berhenti meski kamu telah berhenti.” (hal. 312 – 313)


Tere Liye, bukan hanya membuat tokoh-tokoh menarik. Novel Rindu meskipun hanya merupakan potret perjalanan sebuah kapal uap milik Belanda menuju Tanah Suci, tetapi saja di dalamnya tersaji banyak sekali macam konflik yang tidak akan pernah terpikir sebelumnya oleh pembaca.


Salah satunya ialah penyerangan kapal oleh bajak bahari Somalia, kapal yang terancam terkatung-katung di bahari lepas, dan ada pula kisah perihal seseorang yang mencoba membunuh Daeng Andipati, juga kasus yang membuat Gurutta dipenjara di sel kapal uap Blitar Holland.


Tere Liye juga menyelipkan sebuah pesan perihal keberagaman dalam beragama; toleransi. Dikisahkan dalam perjalanan menuju tanah suci; dari Kolombo menuju Jeddah, para kelasi mengadakan perayaan Natal. Dalam sebuah obrolan antara Anna dan Daeng Andipati, Tere Liye menegaskan makna toleransi dari sudut pandang yang berbeda.


“… tanpa menghadiri program itu, kita tetap meghormati mereka dengan baik, sama menyerupai Kapten Phillips yang sangat menghormati agama kita. Pun tanpa harus mengucapkan selamat, kita tetap sanggup saling menghargai. Tanpa perlu mencampur adukkan hal-hal yang sangat prinsipil di dalamnya.” (hal. 499)


Kekayaan tema dalam novel Rindu juga diperbanyak oleh sosok dua guru yang kreatif dan hebat; mereka ialah Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak Soerjaningrat, dua guru terbaik dari Surabaya.


Novel Rindu ini juga berbobot alasannya ialah berisi banyak sekali cuplikan sejarah beberapa kawasan yang dijadikan latar. Seolah-olah para pembaca sanggup mencicipi secara pribadi suasana di zaman lampau. Suasana lampau Surabaya, misalnya. Trem listriknya.


Begitu pula Banten, yang warganya berbaur dengan orang-orang Belanda; Kolombo, berkeliling menaiki kereta sapi.




style="display:inline-block;width:336px;height:280px"
data-ad-client="ca-pub-3435604455637462"
data-ad-slot="4999672050">




Akhirnya, saya hanya sanggup menyimpulkan, novel Rindu menjadi bacaan dengan inspirasi segar yang tidak hanya menarik untuk dibaca, tetapi juga direnungkan pelajaran-pelajaran yang terselip di dalamnya.




style="display:inline-block;width:336px;height:280px"
data-ad-client="ca-pub-3435604455637462"
data-ad-slot="4999672050">





Sumber https://satriabajahitam.com