AsikBelajar.Com | Perilaku intellectual stimulation merupakan salah satu bentuk sikap dari kepemimpinan transformasional yang berupa upaya meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap kasus diri dan organisasi serta upaya memengaruhi untuk memandang kasus tersebut dari perspektif yang gres untuk mencapai target organisasi, meningkatkan intelegensi, rasionalitas, dan pemecahan kasus secara saksama. Dimensi ini juga mengandung makna bahwa seorang pemimpin transformasional perlu bisa berperan sebagai penumbuh kembang ide-ide yang kreatif sehingga sanggup melahirkan inovasi, maupun sebagai pemecah kasus (problem solver) yang kreatif, sehingga sanggup melahirkan solusi terhadap banyak sekali permasalahan yang muncul dalam organisasi pendidikan.
Domain-domain tersebut merupakan beberapa domain yang masuk dalam kategori kualitas pemimpin yang terspesifikasi pada sikap kepemimpinan transformasional. Akan tetapi, pemimpin secara umum sanggup dikatakan sebagai the kind of person (with leadership qualities) who has the appropriate knowledge and skill to lead a group to achieve its ends willingly (Aldair, 1994:4). Artinya, ia mempunyai kualitas yang menonjol untuk mencapai tujuan organisasi pendidikan dengan kemampuannya sebagai sosok yang sangat sesuai dengan rujukan kepemimpinannya. Dalam konteks ini, kualitas kepemimpinan transformasional yang sangat menonjol ialah penggunaan imajinasi berlandaskan intuisi dengan kerangka budi secara aktif terusmenerus dimanfaatkan oleh pemimpin dalam mengajak komponen organisasi pendidikan untuk berkreasi, mempertanyakan status quo, menentang tradisi yang vakum, mempertanyakan perkiraan dan kepercayaan lama yang tidak baik.
Oleh alasannya ialah itu, -sebagaimana telah dikutip pada pecahan sebelumnya transformational leadership is practiced when leader intellectually stimulates the subordinates, excites, arouses and inspires them lo perform beyond their expectations. By providing a new vision, the transformational leader transform thefollowers into people who want to self-actualize (Kondalkar, 2007:242).
Perilaku ini mengindikasikan suatu perjuangan yang dilakukan pemimpin transformasional untuk meningkatkan kinerja di luar harapan mereka, bahkan ia sangat menginginkan komponen organisasi pendidikan menjadi Sumber daya insan yang handal dengan mentransformasi bawahannya. pada kebutuhan self-actualize. Ia melaksanakan dorongan, menstimuli mereka biar memakai seluruh kemampuannya untuk menjadi lebih kreatif, berdikari dalam berpikir dan militan dalam bekerja.
Dengan demikian, ia sadar akan prinsip perkembangan organisasi Pendidikan dan kinerja manusia, sehingga ia berupaya membuatkan Segi kepemimpinannya secara utuh melalui pemotivasian terhadap komponen organisasi pendidikan dan menyerukan cita-citanya yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral. Artinya, dalam meraih kesuksesan dalam organisasi pendidikan, ia perlu membangkitkan kesepakatan pengikutnya dengan kesadarannya membangun nilai-nilai organisasi pendidikan, membuatkan visi organisasi pendidikan, melaksanakan perubahan, dan mencari terobosan-terobosan gres untuk meningkatkan produktivitas organisasi pendidikan. Jadi, pemimpin secara terus-menerus memotivasi bawahan untuk bekerja demi tercapainya target organisasi dan memuaskan kebutuhan mereka pada tingkat lebih tinggi yang hasilnya memunculkan organisasi yang mempunyai karakteristik transparansi, akuntabilitas dan mempunyai keunggulan kooperatif antar komponen organisasi.
Jadi pada kerangka ini, ada beberapa aspek yang menjadi karakteristik pemimpin transformasional, antara lain: pemimpin yang mempunyai wawasan jauh ke depan dan berupaya memperbaiki dan membuatkan organisasi bukan untuk ketika ini tetapi di masa datang. Oleh lantaran itu, pemimpin ini sanggup dikatakan pemimpin visioner; pemimpin sebagai biro perubahan dan bertindak sebagai katalisator, yaitu yang memberi tugas mengubah sistem ke arah yang lebih baik. Katalisator ialah sebutan lain untuk pemimpin transformasional lantaran ia berperan meningkatkan segala sumber daya insan yang ada. Berusaha menunjukkan reaksi yang menjadikan semangat dan daya kerja cepat semaksimal mungkin, selalu tampil sebagai aktivis dan pembawa perubahan (Komariah, 2006:78). Dalam hal intellectual stimulation lazim kalau pemimpin transformasional mengawali dengan mempertanyakan status quo yang berupa kondisi diam, tidak bergerak, tidak berkembang dan akan mengalami kerusakan serta terjadi kevakuman yang panjang. Pada konteks ini, pemimpin transformasional dengan kesadarannya menentang status quo itu biar bergerak, berubah menuju visi-misi yang telah dirancang sebelumnya (Suryanto, 2009:146).
Apalagi pada kurun kini telah bergulir efek-efek perubahan dalam banyak sekali bidang, Joseph S. Nye menyatakan bahwa
the information revolution is transforming politics and organizations. Hierarchies are becoming flatter and embedded in fluid networks of contacts. Most workers in postindustrial societies are knowledge workers, and they respond to different incentives and political appeals than did the industrial workers of the past centuryPolls show that people today are less deferential to authority in organizations and in politics. Soft power is becoming more important (Nye, 2008:1)
Hal ini berarti, perubahan merupakan suatu bentuk kelaziman yang niscaya terjadi dalam organisasi. Namun, untuk melaksanakan “perombakan” status quo tersebut pemimpin perlu untuk mempunyai kekuatan yang besar sebagai “otoritas tertinggi dalam memengaruhi” biar bisa menunjukkan daya dorong perubahan yang lebih besar pula.
Perilaku lainnya dari pemimpin transformasional sebagai bentuk dari perjuangan mendorog komponen organisasi pendidikan ke arah perubahan yang fundamental ialah dengan mengajak mereka berimajinasi dan bermimpi. Kekuatan dari imajinasi dan mimpi diarahkan untuk penataan misi organisasi pendidikan di masa depan yang semakin ketat dalam kompetisi antar organisasi lain dan sulit untuk memprediksi hal-hal yang futuristik. Pemimpin perlu sadar dengan adanya kekuatan irasional -baca intuisi-( Baharuddin. 2011:-) yang bisa untuk menunjukkan citra berpengaruh dalam “pengambilan solusi atau keputusan”. Pada kerangka ini Dwi Suryanto mendeskripsikan bahwa visi yang menantang, menarik, pemecahan kasus yang kreatif, produk gres yang inovatif, metode kerja yang praktis, dan terobosan lainnya, sering kali didapat bukan lantaran berpikir saja… ia seperti muncul ada begitu saja, menyerupai dunia luar kita. Inilah kekuatan intuisi. Pemimpin transformasional amat mendorong penggunaan intuisi dari karyawannya, tentu saja masih dibarengi dengan fatwa yang logis (Suryanto, 2009:154).
Ada juga yang menyatakan bahwa
being intuitive, successfully so, is undoubtedly a help in making effective decisions. It is not always possible to analyse problems into solutions and intuition is the useful power to know what has happened or what to do. Interestingly the powers of intuition are diminished by stress and generalfatigue and so your ability to be insightful in decision-making can be adversely affected by these factors (Aldair, 1995:90).
Hal ini berarti bahwa intuisi mempunyai proporsi yang perlu dipertimbangkan sebagai arus lain dari solusi yang tidak bisa atau sisi lain dari hal yang bersifat logis. Oleh alasannya ialah itu, terbentuknya komponen organisasi pendidikan yang sanggup memandang kasus diri dan organisasi dari perspektif yang gres tentu akan terwujud apabila pemimpin sanggup menunjukkan arahan-arahan terhadap imajinasi mereka, mendorong penggunaan intuisi yang dipandu dengan budi dan juga dari segala hal yang sanggup menstimulasi intelektualitas mereka. Dua kekuatan dalam diri komponen organisasi pendidikan ini yaitu intuisi dan rasionalitas (logika) dipadukan sebagai satu kekuatan untuk menata sistem, membangun budaya organisasi serta peningkatan produktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi.
Di arus yang demikian, sosok pemimpin transformasional perlu untuk mendorong komponen organisasi pendidikan maupun dirinya memadukan dua entitas kekuatan insan tersebut yaitu analitis dan intuisi. Namun, ada sebagian kalangan menilai, pemimpin transformasional harus menitikberatkan pada kemampuan intuitifnya, alasannya ialah ia berbeda dengan pemimpin yang reaktif di mana ia melaksanakan analisis secara terus-menerus. Akan tetapi, seorang pemimpin transformasional selain menganalisis juga perlu mendengarkan intuisinya (Suryanto, 2009:159). Sebab, lazimnya pemimpin hanya mengandalkan rasionalitasnya untuk melaksanakan analisis-analisisnya dalam merencanakan sesuatu, padahal kemampuan insan yang diberikan Tuhan tidak hanya “analisis atau rasionalitas” tetapi juga ada “intuisi” atau imajinasi (Qomar, 2005:262).
Pada sisi yang lain, pemimpin transformasional dalam sikap tellectual stimulation perlu untuk menunjukkan ruang bagi komponen rganisasi pendidikan mengaktualisasikan potensi mereka. Substansi dari sikap intellectual stimulation ialah suatu bentuk perjuangan meningkatkan inteiegensia, rasionalitas, dan pemecahan kasus secara saksama. Oleh alasannya ialah itu, pemimpin transformasional perlu untuk mengajak komponen organisasi pendidikan melihat duduk kasus dari perspektif yang baru, lebih komprehensif, dan luas, supaya duduk kasus tidak dibingkai dengan parsial. Perilaku semacam ini untuk terus-menerus dilakukan biar tercipta budaya yang holistik menyerupai munculnya tradisi musyawarah, kebiasaan untuk sharing dan lain sebagainya, sehingga dari tradisi yang demikian energi positif akan lahir dan penyegaran bekerja akan muncul.
Usaha perubahan cara pandang, berpikir terutama berperilaku bisa juga dilakukan dengan pemakaian simbol-simbol inovasi. Simbol-simbol tersebut menjadi akar dari proses memengaruhi persepsi dan paradigma komponen organisasi pendidikan untuk proses perubahan dari status quo ke organisasi yang lebih baik. Pemimpin transformasional membuat budaya menyerupai ini dengan tujuan dasar perubahan tersebut yang merupakan wujud dari idealisme pemimpin dan juga keinginan untuk mewujudkan visi organisasi pendidikan. Dengan demikian, mempertanyakan perkiraan lama terlebih yang vakum dan stagnan menjadi sikap pemimpin transformasional. Hal semacam ini sanggup berupa mempertanyakan perkiraan lama yang menempel pada diri komponen atau organisasi pendidikan, contohnya ada asumsi-asumsi lama yang tidak baik yang menjadi kultur organisasi.
Dari “keterpurukan” kultur organisasi pendidikan yang konvensional tersebut, pemimpin transformasional mempertanyakan relevansinya dengan arus lingkungan organisasi terlebih dengan proses arus gerak kemajuan organisasi. Ketidaksesuaian terlebih menjadi penghalang pada kemajuan organisasi pendidikan, maka pemimpin transformasional mengajak untuk mentransformasi kultur organisasi tersebut dengan yang gres dan lebih baik, bahkan ada kesesuaian dengan gerak kemajuan organisasi pendidikan. Oleh alasannya ialah itu, pemimpin transformasional harus berani dengan kritis mempertanyakan asumsi-asumsi yang salah, atau bahkan berani menentang asumsi-asumsi yang selama ini dianggap benar oleh karyawan. Pemimpin transformasional harus bisa menentukan metode pembaruan yang paling valid, serta bisa mengajak karyawan menemukan metode gres yang lebih efektif. Tugas pemimpin transformasional ialah melihat asumsi-asumsi itu dengan jeli dan mengujinya apakah masih efektif atau tidak (Suryanto, 2009:170-171).
Namun, pemimpin transformasional juga perlu mempunyai kearifan dalam menyikapi tradisi atau kultur organisasi yang konvensional. Artinya, pemimpin transformasional perlu untuk mempertanyakan nilai kemanfaatan tradisi lama dengan organisasi pendidikan kekinian. Pola ini menjadi suatu gerak “mundur” ketika semua hal yang ada dinilai masih mempunyai keterkaitan bersahabat dengan organisasi pendidikan kekinian tanpa ada proses perubahan yang konstruktif. Memang menjadi tantangan besar, kalau keseluruhan tradisi dalam organisasi pendidikan bergerak ke arah perubahan, terlebih pemimpin secara akseleratif dalam organisasi pendidikan sudah memahami dan mempraktikkan sikap transformasional, maka like or dislike akan ada kekuatan yang besar yang siap mengubah tatanan lama.
Organisasi yang baik ialah organisasi yang dijalankan oleh orangorang yang berpikir jernih, membahas dan mempertanyakan banyak sekali kepercayaan yang ada pada organisasi. Pemimpin transformasional harus membantu orang-orang biar percaya, mereka sanggup efektif, tujuan-tujuan mereka sanggup tercapai, dan masa depan yang lebih baik sanggup mereka tuju melalui upaya-upaya mereka sendiri. Hal tersebut bisa dilakukan dengan selalu mempertanyakan kepercayaan lama yang menempel pada diri karyawan dan organisasi (Karim, 2010:-). Artinya, dinamika dalam organisasi secara terus-menerus bergerak dengan alur perubahan yang ke arah lebih baik dengan tetap berpegang pada prinsip dan tujuan organisasi.
Sumber:
Setiawan, Bahar A. dkk. 2013. Transformasional Leadership (Ilustrasi di Bidang Organisasi Pendidikan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 170-176.
Sumber https://www.asikbelajar.com