Monday, July 10, 2017

√ Individual Consideration Pada Kepemimpinan Transformasional


AsikBelajar.Com | Perilaku individual consideration merupakan bentuk dari sikap kepemimpinan transformasional yang di mana ia merenung, berpikir, dan terus mengidentifikasi kebutuhan karyawannya, mengenali kemampuan karyawannya, mendelegasikan wewenangnya, memperlihatkan perhatian, membina, membimbing, dan melatih para pengikut secara khusus dan pribadi semoga mencapai target organisasi, memperlihatkan dukungan, membesarkan hati dan memperlihatkan pengalaman-pengalaman perihal pengembangan kepada pengikut. Dalam hal individual consideration ini, pemimpin transformasional sanggup dicirikan sebagai pemimpin yang bisa memperlihatkan proteksi (mengayomi) dan membuat rasa kondusif dan nyaman para pengikutnya, serta bisa menampung dan menangkap, semua aspirasi dan kepentingan pengikutnya (Tunggal, 1993:315) memperjuangkan kebutuhan pengikutnya, pemimpin yang menghargai potensi, kebutuhan dan aspirasi pengikut (Wuradji, 2005:123) untuk kepentingan jangka panjang. Pola sikap pemimpin yang demikian bisa dikatakan sebagai pemimpin yang efektif dengan dasar dorongan perilakunya digerakkan oleh tujuan-tujuan jangka panjang dan ia juga mempunyai harapan yang tinggi dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya (Anonim, 2005:123).





Dalam bentuk lainnya individual consideration merupakan sikap kepemimpinan dengan mendekatkan diri kepada karyawan secara emosi. Artinya, pada aspek ini ada korelasi antara gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan pengikut terutama pada kekuasaan korelasi (connection) dengan bersumber pada korelasi yang dijalin pimpinan dengan orang penting dan kuat baik di luar atau dalam organisasi (Nasrudin, 2010:81). Beberapa hasil penelitian telah menandakan bahwa sikap mendekatkan emosi menyerupai memperlihatkan perhatian secara invidual sanggup memperlihatkan daya Pengaruh yang besar serta kontributif terhadap timbulnya pola korelasi antara pemimpin dan komponen organisasi pendidikan. Dengan demikian, dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memerhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karier dan juga peningkatan sumber daya insan komponen organisasi pendidikan.





Di sisi yang lain sikap individual consideration juga berarti bahwa pemimpin harus mampuni dalam menyediakan dan mengakibatkan organisasi sebagai aktualisasi diri bagi para pengikutnya sebagaimana dalam kepemimpinan spiritual yang memperlihatkan ruang untuk hal tersebut. Akan tetapi, hal ini sangat berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam hal paradigma, teori maupun orientasi kepemimpinannya. Kepemimpinan transformasional sebagaimana kepemimpinan spiritual tidak secara eksklusif menghendaki kemakmuran bagi para pengikutnya, melainkan berusaha memperlihatkan perhargaan internal. Maksudnya kepemimpinan transformasional berusaha mendorong, memfasilitasi dan memberi penguatan semoga pengikutnya sanggup beraktualisasi diri (Tobroni, 2005:186), serta menemukan hakikat dirinya dalam organisasi pendidikan. Pemberian ruang ini dimaksudkan sebagai pola “pemanusiaan” bagi seluruh komponen organisasi pendidikan -baca sumber daya insan organisasi-, alasannya kepemimpinan menyangkut orang lain, subordinate atau pengikut (komponen organisasi pendidikan). Kesediaan mereka untuk mendapatkan pengarahan dari pemimpin sanggup membantu memilih status atau kedudukan pemimpin dan membuat proses kepemimpinan sanggup berjalan. Tanpa bawahan, semua kualitas kepemimpinan seseorang akan menjadi tidak relevan.





Dengan demikian, banyak kalangan yang kemudian menyatakan bahwa salah satu faktor situasional yang akan semakin kuat terhadap efektivitas kepemimpinan dalam dekade mendatang yakni korelasi antara pemimpin dan pengikut (bawahan). Esensi korelasi tersebut yakni interaksi antar pribadi yang berbeda motivasi dan potensi kekuasaan, termasuk di dalamnya keterampilan, dalam rangka mencapai tujuan bersama. Interaksi ini mempunyai dua bentuk yaitu transactional leadership dan transformational leadership (Gibson dkk, 1991:-). Dalam sikap kepemimpinan transformasional indikasi ini muncul, ia tidak hanya memerintah melalui otoritas dan wewenangnya, akan tetapi ia juga memperlihatkan bimbingan terhadap komponen organisasi pendidikan, bahkan ia bisa mengidentifikasi kebutuhan komponen organisasinya dengan tepat.





Selanjutnya kondisi komponen organisasi pendidikan yang tidak  semuanya suka dibimbing atau bahkan mempunyai kesan untuk digurui, maka pemimpin transformasional hanya membantu untuk memilih konteks “apa” yang harus dikerjakan lebih dulu oleh mereka sebagai bentuk langkah awal dalam mencapai visi, misi dan tujuan organisasi pendidikan. Bentuk sikap yang demikian sebetulnya mengarahkan organisasi pendidikan pada pola kooperatif antar lini (devisi) yang lebih diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi pendidikan. Dengan kolaborasi bahumembahu (kooperatif) antara pemimpin dan karyawan terlebih pada masa krisis untuk mengatasi peristiwa alam akan terjalin ikatan yang kuat. Ikatan itu akan bertahan dan mempunyai sifat ketangguhan dalam menghadapi krisis di masa mendatang (Suryanto, 2009:50). Akan tetapi yang paling urgen dalam kerangka ini yakni pada aspek kepemimpinan sebagai fakta esensial dalam manajerial dan organisasional. Sebab pemimpin merupakan faktor penentu dalam kesuksesan atau gagalnya suatu organisasi dan usaha. Baik di dunia bisnis maupun di dunia pendidikan, kesehatan, perusahaan, religi, sosial, politik, pemerintahan negara, dan lain-lain, kualitas pemimpin memilih keberhasilan forum atau organisasinya. Pemimpin yang sukses itu bisa mengelola organisasi, bisa memengaruhi secara konstruktif orang lain, dan memperlihatkan jalan serta sikap benar yang harus dikerjakan bahu-membahu (melakukan kerja sama), dan bahkan kepemimpinan sangat memengaruhi semangat kerja kelompok (Sulthon dkk, 2006:42).





Terlepas dari hal tersebut, selain memperlihatkan bimbingan terhadap komponen organisasi pendidikan, pemimpin trasformasional juga berusaha untuk mengkaji, menelaah dan berpikir dengan keras untuk mengetahui kemampuan seluruh komponen organisasi. Hal itu dilakukan lantaran Program-program transformasional yang akan diaplikasikan perlu untuk diselaraskan dengan sumber daya atau kemampuan dari komponen organisasi pendidikan. Oleh alasannya itu, pemimpin transformasional perlu menyadari kemampuan yang bermacam-macam dari komponen organisasi pendidikan tersebut, atau bahkan ia tidak perlu melaksanakan generalisasi atau menyamaratakan kemampuan komponen organisasi yang bermacam-macam tersebut. Pada kerangka ini, pemimpin transformasional akan bisa memperlihatkan solusi terhadap permasalahan “kemampuan” komponen organisasi pendidikan dengan melaksanakan tindakan-tindakan menurut hasil identifikasi terdapat kelemahan-kelemahan tersebut.





Dari deskripsi tersebut, maka sangat terang kedudukan dari sosok pemimpin dalam organisasi pendidikan, ia merupakan spirit untuk menggerakkan dan memutar roda pemberdayaan organisasi pendidikan, artinya kiprah sentral dalam organisasi pendidikan tidak pernah lepas dari kinerja seorang pemimpin untuk menggerakkan potensi-potcnsi dalam organisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa dalam konteks organisasi yang paling urgen yakni kepemimpinan yang efektif dan diikuti oleh rencana agresi (Suryadi, 2006:9), dan akan berakhir pada tatanan administrasi yang baik dalam organisasi pendidikan yang ditangani dengan adanya pola pikir yang teratur (administrative thinking), adanya pelaksanaan aktivitas yang teratur (administrative behavior), dan adanya penyikapan terhadap tugastugas aktivitas dengan baik (administrative attitude) (Sulthon dkk, -:37). Dalam alur yang demikian, sikap pemimpin lransformasional sangat menemukan tatanan manajerial organisasi pendidikan salah satu teladan sikap pemimpin yang memperlihatkan perlakuan yang adil dan ratifikasi dari pemimpin transformasional menjadi pendorong yang kuat pula. Perilaku lain sanggup pula diwujudkan dalam sikap pemimpin yang mendorong dan memperlihatkan kesempatan dan ruang kepada komponen organisasi pendidikan untuk belajar. Perilaku semacam ini akan menumbuhkan emosi mereka dengan baik lantaran mereka merasa diperhatikan oleh organisasi pendidikan secara makro dan pemimpinnya secara mikro. Pada sikap ini ada penyataan yang cukup menarik bahwa:





“Dengan memberi ruang kepada karyawan untuk berguru dari pengalaman, Anda telah memperlihatkan kepedulian terhadap karyawan. Ha] ini penting lantaran sebagai pemimpin transformasional Anda mengajak mereka untuk memasuki perairan yang belum terpetakan. Anda mengajak mereka untuk kreatif, inovatif dan berpikir di luar kotak. Kesalahan merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan, tapi apa pun kesalahannya, kita bisa berguru sesuatu darinya. Jangan lupa anda harus bisa memberi teladan sebagai seorang pembelajar yang selalu haus akan pengetahuan-pengetahuan baru” (Suryanto, 2009:58).





Dengan demikian, kepemimpinan perlu untuk menyikapi perubahan dalam kompetisi global dengan sikap yang memperlihatkan ruang dan kesempatan bagi komponen organisasi pendidikan untuk belajar. Secara teoretis, pemimpin dalam konteks pendidikan untuk menyikapi tantangan globalisasi yang ditandai dengan adanya kompetisi global yang sangat ketat dan tajam, di beberapa negara telah berupaya untuk melaksanakan revitalisasi pendidikan (Ahimsa, 2002:7). Revitalisasi ini termasuk pula dalam hal perubahan paradigma kepemimpinan (Azizy, 2004:174) pendidikan, terutama dalam hal pola korelasi atasan-bawahan, yang semula bersifat hierarkis-komando menuju ke arah kemitraan bersama. Pada korelasi atasan-bawahan yang bersifat hierarkis-komando (direktif), sering kali menempatkan bawahan sebagai objek tanpa daya dan semua aktivitas berpusat pada pemimpin, dan sedikit saja kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak yang diizinkan (Salusu, 2000:194). Pemaksaan kehendak dan pragmatis merupakan sikap dan sikap yang kerapkali mewarnai kepemimpinan komando-birokratik-hierarkis, yang pada kesannya hal ini berakibat fatal terhadap terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif dari setiap bawahan. Dalam melaksanakan kiprah dan kewajiban, mereka cenderung bersikap a priori dan bertindak hanya atas dasar perintah sang pemimpin semata. Dengan kondisi demikian, pada kesannya akan sulit dicapai kineija yang unggul (Wahab dkk, 2008:85-86).





Terlebih dikala melihat lingkungan yang terus berubah, maka tidak bisa tidak (like or dislike) komponen organisasi pendidikan perlu dihadapkan dengan budaya kompetisi dan transformatif yang dengan sendirinya menjadi insan pembelajar. Budaya organisasi yang di dalamnya terdiri dari insan pembelajar atau memang telah menjadi potongan substansi dari organisasi pendidikan yaitu budaya pembelajar yang akan memungkinkan organisasi pendidikan untuk terus-menerus mengevaluasi asumsi-asumsi, mental, model, paradigma yang digunakan dalam menjalankan roda organisasi tersebut. Dengan dasar tersebut, maka kiprah pemimpin transformasional yang bersifat fundamental yakni kemampuannya dalam membuat budaya pembelajar pada organisasi pendidikan. Budaya pada kerangka ini diartikan sebagai the body of solutions to external and internal problems that has worked consistently for a group and that is therefore taught to new remembers as the correct way to perceive, think bout, and feel in relation to those problems (Tika, 2006:33) atau sebagai suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu sistem dari makna bersama (Robbin, 2005:289).





Fakta riilnya, pemimpin transformasional yakni pemimpin yang memang fokus untuk melejitkan potensi kemanusiaan yang dimiliki komponen organisasi pendidikan untuk menuju humanisasi organisasi, sehingga organisasi pendidikan akan bermetamorfosis menjadi ajang pemanusiaan insan sebagai wujud dari spiritualisasi korporat yang komponen di dalamnya merupakan sosok insan kamil (Mas’adi, 2002:170-171) yang akan terwujud dalam proses organisasi tersebut. Artinya, proses humanisasi yang diberikan oleh pemimpin transformasional akan memperlihatkan imbas yang signifikan terhadap pola pembentukan sistem termasuk “pengangkatan derajat” komponen organisasi pendidikan. Wajar dikala pemimpin transformasional dikatakan sebagai pemimpin yang lebih mengarahkan komponen organisasi pendidikan pada peningkatan nilai dan budbahasa organisasi.





Dalam lingkup ini yang bisa dijadikan sebagai teladan yakni dikala pemimpin transformasional memperlihatkan kepada komponen organisasi pendidikan mempunyai kesempatan untuk berguru dan berpengalaman. Kesempatan ini diberikan dalam rangka meningkatkan potensi, skill, dan kompetensi serta keterampilan komponen organisasi pendidikan; dan hal ini bisa terjadi (terwujud) apabila pemimpin memperlihatkan ruang bagi mereka, contohnya dengan mendelegasikan wewenang bagi mereka sebagai bentuk rangsangan bagi mereka untuk belajar. Aspek yang demikian bisa dinyatakan bahwa:





Mendelegasikan wewenang yakni ciri dari pemimpin transformasional. Anda harus berani mendelegasikan. Ingat pemimpin transformasional memperlihatkan ruang untuk belajar, memberi kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh dan berkembang. Mendelegasikan wewenang yakni sesuatu yang amat diperjuangkan oleh pemimpin transformasional. Cita-cita itu mengajak karyawan untuk keluar dari kekerdilan diri menuju ke puncak martabat insan (Suryanto, 2009:62).





Perilaku lainnya yang masuk dalam kerangka sikap individual consideration dari kepemimpinan transformasional dan merupakan potongan dari proses pemanusiaan komponen organisasi pendidikan yakni dengan melatih dan memperlihatkan umpan balik yang baik dan sempurna semoga mereka sukses dalam tugasnya dan juga bisa berguru dari pengalaman tersebut. Dengan demikian, pemimpin transformasional dibutuhkan menjadi manajer sekaligus instruktur bagi organisasi pendidikan secara keseluruhan untuk lebih membuka segala ilmu pengetahuan dari pemimpin dalam meraih kesuksesannya. Dari aspek ini pula, pemimpin transformasional lebih menekankan komunikasi dua arah yaitu antara dirinya sebagai sosok pemimpin dengan komponen organisasi pendidikan sebagai bawahan (pengikut) yang di dalamnya mempunyai dua unsur komunikasi yaitu saling mendengar dan berbicara.





Sebab dominan ditemukan bahwa pemimpin organisasi pendidikan lebih sering banyak berbicara daripada mendengar komponen organisasi pendidikan dikala memberikan pandangannya, sehingga komunikasi yang muncul yakni komunikasi yang berjalan satu arah tanpa ada pembingkaian dari bawahan. Rangkaian satu arah akan memperlihatkan nuansa dominasi pemimpin yang jauh dari sikap demokratis, padahal mendengar secara saksama dan penuh perhatian terhadap sesuatu yang menjadi keinginan, keluhan serta pikiran dari komponen organisasi pendidikan sangat membantu efektivitas kepemimpinan. Formulasi yang bisa dimunculkan pada aspek ini yakni mendengar sama dengan menimba kelebihan orang lain untuk mengisi kekurangan diri dalam pemimpin. Kaprikornus pada kerangka ini pemimpin transformasional sangat menyadari bahwa dirinya bukan insan yang luar biasa. Oleh lantaran itu, ia akan dengan antusisas mendengar orang lain (komponen organisasi pendidikan). Misinya yakni ingin mengangkat karyawan pada tataran tinggi yang melebihi hanya sekadar ambisi pribadi dari para karyawan itu… mereka (karyawan) harus juga berperan serta dan mendengar saran karyawan yakni kewajiban yang dihentikan dilupakan (Suryanto, 2009:73).





Dengan alur yang demikian, ada kalangan yang memperlihatkan statement bahwa organisasi yang baik yakni organisasi yang tidak hanya menyediakan pekerjaan bagi karyawannya, tetapi juga mereka bisa mendapatkan keahlian, pengetahuan dan pengembangan sumber daya manusia, bahkan mereka akan lebih terpedayakan untuk menjadi lebih baik. Pemimpin transformasional yakni pemimpin yang bisa menyediakan ruang, waktu, kemudahan yang sanggup digunakan oleh komponen organisasi pendidikan untuk memberdayakan dan menyebarkan kemampuan dan keterampilannya semoga performance organisasi pendidikan menjadi lebih baik. Dengan demikian, individual consideration dalam kepemimpinan transformasional yakni kemampuan seorang pemimpin dalam memperlakukan setiap orang menjadi individu. Keragaman minat, bakat, kemampuan, karakter, cita dan lainnya dari setiap karyawan harus diketahui secara detail oleh pemimpin sehingga beliau sanggup memperlakukan setiap karyawan sebagai individu. Sebagai seorang pemimpin haruslah mengenal bawahannya (Karim, 2010:96-97).





Oleh alasannya itu, pemimpin transformasional sanggup dilihat dari karakteristik yang muncul dari prilakunya, antara lain: ia mempunyai visi yang besar dan mempercayai intuisi; ia menempatkan diri sebagai motor aktivis perubahan; ia berani mengambil risiko dengan pertimbangan yang matang; ia memperlihatkan kesadaran pada bawahan akan pentingnya hasil pekerjaan; ia mempunyai kepercayaan akan kemampuan bawahan; berperilaku fleksibel dan terbuka terhadap pengalaman baru; berusaha meningkatkan motivasi yang lebih tinggi daripada sekadar motivasi yang bersifat materi; mendorong bawahan untuk menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi dan golongan; serta bisa mengartikulasikan nilai inti (budaya/tradisi) untuk membimbing sikap mereka (Karim, 2010:98).





Sumber:
Setiawan, Bahar A. dkk. 2013. Transformasional Leadership (Ilustrasi di Bidang Organisasi Pendidikan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 176-185.



Sumber https://www.asikbelajar.com