Wednesday, July 12, 2017

√ Idealized Influence Pada Kepemimpinan Transformasional


AsikBelajar.Com |  Perilaku idealaized influence-charisma dalam dimensi kepemimpinan transformasional merupakan sikap pemimpin yang mempunyai keyakinan diri yang kuat, kesepakatan tinggi, mempunyai visi yang jelas, tekun, pekerja keras dan militan, konsisten, bisa memperlihatkan ide-ide penting, besar dan agung serta bisa menularkannya pada komponen organisasi pendidikan, bisa memengaruhi dan menjadikan emosi-emosi yang berpengaruh para komponen organisasi pendidikan terutama terhadap target organisasi pendidikan, memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan kepercayaan pada para komponen organisasi pendidikan. Artinya, pada tataran ini pola sikap seorang pemimpin transformasional harus menjadi suri teladan bagi para komponen organisasi pendidikan, tutur katanya harus sesuai dengan perbuatannya atau tidak munafik. Pemimpin menyerupai ini biasanya akan dikagumi, dihormati dan dipercayai oleh para bawahannya.





Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa gaya kepemimpinan semacam ini akan bisa membawa kesadaran pengikut (followers) dengan memunculkan ide-ide produktif, korelasi atau kekerabatan yang sinergikal, kebertanggungjawaban, kepedulian edukasional, harapan bersama, dan nilai-nilai moral (moral values). Pola yang ini merupakan “ciri keunikan” dari pemimpin transformasional dalam mengelola organisasi pendidikan, sehingga ia tampil sebagai sosok yang akan membawa komponen organisasi pendidikan pada idealisme tingkat tinggi sebagai bentuk dari perwujudan idealitas kepemimpinannya. Kondisi ini memunculkan suatu implikasi pada diri komponen organisasi pendidikan akan pentingnya mencapai tujuan kolektif daripada tujuan yang bersifat individual. Pada kerangka ini bisa dikatakan bahwa transformational leaders encourage followers to look beyond their own individual desires and needs to a broader collective purpose (Nelson dkk, 2007:102).





Faktanya pemimpin transformasional dengan sikap idealized influence akan terus berusaha membawa pengikutnya ke arah suatu idealisme yang tidak hanya sekadar sebagai jalan, akan tetapi bisa atau sanggup meyakinkan pengikutnya bahwa yang dicita-citakannya tersebut niscaya tercapai (Wuraji, 2008:52-53). Pada tataran ini, seorang pemimpin transformasional biar bisa “menyihir” komponen organisasi pendidikan untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Dalam bentuk konkret, menyihir merupakan proses memengaruhi yang ditunjukkan melalui sikap pemahaman terhadap visi dan misi organisasi pendidikan, mempunyai pendirian yang kukuh sebagai ciri khas pemimpin, serta pada aspek yang lain juga mempunyai kesepakatan dan konsistensi terhadap keputusan yang telah diambil, dan menghargai komponen organisasi pendidikan.





Pada tataran ini, kharisma dari kepemimpinan transformasional menjadi penggalan substantif untuk “memengaruhi” komponen organisasi pendidikan dengan taken for granted. Antara kharisma dan pemimpin transformasional tidak ada ruang yang memisahkan, lantaran dua entitas tersebut merupakan satu penggalan yang utuh, sehingga bisa dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan kharismatik. Pemimpin yang demikian merupakan pemimpin yang sanggup menginspirasi para komponen organisasi pendidikan yang di dalamnya melibatkan emosi para komponen organisasi yang memengaruhi pada proses idealitas organisasi. Hal ini diungkapkan oleh John B. Miner bahwa inspirational leadership is said to be a subfactor within charisma. As such, it can be selfgenerated and occur outside the charismatic context. Within charisma it involves providing models for followers; emotional appeals to competitiveness, power, affiliation, altruism, and the like; and the use of persuasive words, symbols, and images (Miner, 2005:365). Sedangkan Afsaneh Nahavandi menyatakan bahwa





the charismatic leadership relationship creates the intense emotional bond between leaders and followers. The result is loyalty and trust in, as well as emulation of the leader. Followers are inspired to implement the leader’s vision. The strong loyalty and respect that define a charismatic relationship pave the way for undertaking major change (Nahavandi, 2000:186).





Terlepas dari fakta kharisma, idealisme menjadi kata kunci serta pondasi awal dari sikap pemimpin transformasional. Idealisme juga menjadi Pembeda antara manajer dengan pemimpin dalam lingkup organisasi Pendidikan, alasannya pemimpin transformasional lebih memfokuskan dirinya pada pencapaian perubahan nilai-nilai, kepercayaan, sikap, perilaku, emosional dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik di masa depan berlandaskan pada ide-ide besar yang tumbuh dari dalam dirinya. Dengan ide besar tersebut pemimpin akan bisa membuat haluan yang terang dan lebih baik ke depan bagi organisasi pendidikan dengan tatanan spirit organisasi yang gres pula -walaupun pada fakta riilnya tradisi ‘yang demikian merupakan tradisi dari Barat (Panuju, 2001:207). Akan tetapi dengan idealitas pemimpin transformasional tersebut, akan memperjelas arus langkah organisasi pendidikan serta arah yang akan dituju untuk masa depan, sehingga pada kerangka ini menuntut kejelasan dari visi dan misi organisasi pendidikan tersebut. Urgensitas idealitas pemimpin menjadi arah gres komponen organisasi pendidikan, tanpa idealitas tersebut organisasi akan kehilangan semangat perubahan bahkan cenderung pragmatis, praktis, puas dengan keadaan yang sedang berlaku dan berjalan apa adanya yang akhimya organisasi pendidikan stagnan dengan status quo.





Idealitas sosok pemimpin transformasional pada sisi yang lain perlu dibentengi dengan adanya kesepakatan yang tinggi. Akan tetapi, kesepakatan yang tinggi sosok pemimpin ini terhadap organisasi pendidikan tidak cukup untuk menumbuhkembangkan organisasi tanpa ada perjuangan peningkatan kesepakatan yang tinggi pula dari komponen organisasi pendidikan terhadap visi dan misi besarnya pada organisasi. Artinya, hentakan langkah pemimpin transformasional dalam organisasi pendidikan perlu menerima pengimbangan dari seluruh komponen termasuk dalam konteks ini ialah pilar-pilar penyanggah organisasi pendidikan menyerupai stakeholders organisasi.





Uniknya, ada evaluasi yang cukup menarik dari beberapa kalangan bahwa pemimpin transformasional dikenal sebagai orang yang cendekia membangkitkan kesepakatan yang tinggi pada karyawannya. Ia sangat menyadari urgensitas kesepakatan tinggi ini bagi kesuksesan organisasinya. Oleh lantaran itu, dalam bertindak dan berucap ia akan berhati-hati untuk tidak menyakiti apalagi menghancurkan kesepakatan karyawannya (Suryanto, 2007:22) yang bisa mengatakan implikasi terburuk bagi organisasi pendidikan. Pada aspek ini yang perlu dijadikan suatu pij akan oleh pemimpin transformasional ialah metode penumbuhan kesepakatan komponen organisasi pendidikan yang banyak memerlukan langkah-langkah strategis. Persoalan ini menjadi letak keteguhan sosok pemimpin transformasional yang berada dalam bingkai peningkatan komitmen.





Komitmen terhadap organisasi pendidikan pada kerangka ini merupakan suatu keadaan yang menimbulkan seorang komponen organisasi pendidikan memihak suatu organisasi dan tujuan-tujuan organisasi tersebut serta berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi pendidikan tersebut. Walaupun demikian, kesepakatan merupakan sebuah kata yang gampang diucapkan untuk menjadi suatu diskursus, akan tetapi faktanya sering kali sulit dilaksanakan sebagai aspek psikomotor komponen organisasi pendidikan. Di sinilah sosok pemimpin transformasional perlu untuk melaksanakan standardisasi terhadap kesepakatan komponen organisasi pendidikan sebagai tolok ukur atau parameter. Medium untuk mengukur tinggi rendahnya sebuh kesepakatan yang dimiliki anggota organisasi ialah sejauh mana kapasitas komponen organisasi pendidikan siap menderita, siap berjuang, dan siap berkorban untuk memastikan visi dan misi organisasi terwujud. Prinsip ini juga akan mengandung makna bahwa kalau ada seorang pemimpin atau komponen organisasi pendidikan yang memakai organisasi atau mengorbankan organisasi untuk kepentingan pribadinya, maka ia ialah pemimpin atau komponen organisasi yang tidak mempunyai kesepakatan organisasinya. Sebaliknya, kalau ada sosok pemimpin atau komponen organisasi pendidikan yang mengorbankan seluruh potensinya untuk kepentingan organisasi, maka ia merupakan Sosok yang mempunyai kesepakatan yang tinggi terhadap organisasi tersebut.





Lazimnya menumbuhkan kesepakatan komponen organisasi pendidikan, pemimpin mempunyai kecenderungan berpikir transaksional yang menggeser Seluruh idealitas organisasi pendidikan. Artinya, komponen organisasi pendidikan akan mengatakan kesepakatan tinggi kalau ada kompensasi timbal balik yang ia dapatkan menyerupai reward yang tampak ataupun yang tidak tampak. Namun, langkah transaksional ini lebih condong pada sebuah proses tawar-menawar antara kesepakatan yang akan dihargai dengan reward yang bersifat kebutuhan fundamental yaitu kebutuhan nomeostatik Seperti makan, minum, gula, garam, protein, istirahat sec dan lain-lain atau kebutuhan akan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur, hukum, keteraturan, batas, bebas dari takut dan cemas. Berbeda halnya dengan Pemimpin transformasional yang dalam membangkitkan kesepakatan komponen organisasi pendidikan tidak dengan cara transaksi menyerupai ini, lantaran sikap transformasional merupakan lawanan sikap dari tansaksional maka yang dilakukannya juga berbeda. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemimpin transformasional ini ialah dengan medium pemberdayaan seluruh sumber daya organisasi.





Pemberdayaan yang dilakukan oleh pemimpin transformasional intinya merupakan proses pemerdekaan diri, di mana setiap individu dipandang sebagai sosok insan yang mempunyai kekuatan cipta, rasa dan karsa dan kalau ketiga aspek kekuatan diri insan ini mempunyai daerah untuk berkembang secara semestinya dalam suatu organisasi, maka hal ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa bagi kemajuan organisasi. Oleh lantaran itu, partisipasi dan keterlibatan individu dalam setiap pengambilan keputusan (Liliweri, 1997:36) mempunyai arti penting bagi pertumbuhan organisasi. Dengan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan, pada gilirannya akan terbentuk rasa tanggung jawab bersama dalam mengimplementasikan keputusan yang diambil. Untuk sanggup memberdayakan setiap individu dalam tingkat struktural organisasi pendidikan, seorang pemimpin transformasional seyogianya sanggup membuat lingkungan yang aman bagi pemberdayaan (create an environment conducive to empowerment), memperlihatkan idealisme pemberdayaan (demonstrates empowerment ideals), penghargaan terhadap segala perjuangan pemberdayaan (encourages all endeavors toward empowerment) dan penghargaan terhadap segala keberhasilan pemberdayaan (applauds all empowerment successes).





Dengan demikian, konklusi yang bisa mengakomodasi hal ini ialah penyataan dari Williar Lane dkk., menyerupai yang dikutip oleh E Mark Hanson bahwa:





for although leaders deal directly with individuals, ultimately it is organizations -that is, group traditions, estabilished relationships, and vested interest groupswhich are their main concern. Clearly, the problem, dilemmas, and inconsistenczes of the organization9 and of soczety are the problems of the leader. They constitute the leadership setting (Hanson, 1996:160).





Artinya, pemimpin dalam organisasi dalam keadaan apa pun juga bertanggung jawab terhadap seluruh stabilitas, produktivitas, efektivitas, dan kegiatan dalam organisasi pendidikan tersebut, sehingga semua Problematika serta dinamika keorganisasian menjadi aspek yang terus dalam pantauan dan jangkauan seorang pemimpin.





Di sisi yang lain, selain kesepakatan keorganisasian yang perlu dibangun antara pemimpin dan komponen organisasi pendidikan itu gendiri, pemimpin transformasional juga sangat perlu mempunyai visi jelas. Sebab visi merupakan penggalan dari salah satu aspek-aspek pembentuk dari kepemimpinan atau proses memimpin. Salah satu formulasi argumentasi yang sempurna ialah Michael Amstrong ketika mendefinisikan proses memimpin memasukkan visi menjadi penggalan substantif dalam proses tersebut. Ia menyatakan bahwa:





to lead is to inspire, influence and guide. Leadership is the process of getting people to do their best to achieve a desired result. It involves developing and communicating a visionfor the future, motivating people and gaining their engagement (Amstrong, 2009:4).





Dengan demikian, kejelasan visi dari pemimpin transformasional sangat memilih daya imbas proses kepemimpinan dalam organisasi pendidikan. Serta dari kejelasan visi ini juga, pemimpin transformasional sanggup tampil sebagai pemimpin yang kharismatik di dataran organisasi pendidikan. Fakta yang cukup menarik ialah dari visi ini pula magnet transformasi atau perubahan dalam organisasi pendidikan akan dimulai. Dengan dasar tersebut, maka muncul sistem nilai dalam organisasi pendidikan yang menjadi pola seluruh komponen organisasi pendidikan termasuk pemimpin transformasional yang merupakan pemimpin yang menggerakkan organisasi pendidikan dengan nilai dan norma yang tinggi.





Akan tetapi yang perlu disadari bahwa sistem nilai fundamental dari Sebuah organisasi pendidikan tersebut yang berdaya guna ialah nilai-nilai Yang dibangun dan dikuatkan melalui bentuk kepemimpinan berbasis nilai Yang berpengaruh dan benar-benar dipraktikkan oleh pemimpin transformasional dengan bentuk keteladanan. Dalam hal ini pemimpin organisasi pendidikan sanggup memulainya dengan membuat visi yang sanggup dipercayai kebenarannya oleh para anggota, mengomunikasikan visi tersebut ke semua warga organisasi pendidikan dan kemudian melembagakan visi tersebut melalui aneka macam perilaku, ritual, upacara, dan simbol, begitu pula melalui sistem dan kebijakan organisasi pendidikan. Hal ini lazim dipakai untuk menjadi seorang pemimpin berbasis nilai yang sukses dan efektif, yaitu dengan memakai aneka macam simbol, upacara, ritual, ceramah, dan slogan dalam mengomunikasikan nilai-nilai yang mereka bawakan (Dicky dkk, 2005:263).





Mengkomunikasikan visi merupakan suatu bentuk proses mengatakan yang perlu disikapi secara proporsional dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai masa depan organisasi pendidikan. Di sisi yang lain, proses mengatakan sebuah visi kepada tim organisasi pendidikan yang bisa mereka rangkul dan menyenangi visi tersebut ialah sebuah keharusan. Pada aspek ini pemimpin transformasional juga merupakan pemimpin visioner yang perlu untuk melaksanakan peramalan (forcesting) yang lazimnya dilakukan dengan imajinasi dalam bentuk perencanaan yang anggun yang berimplikasi pada seluruh kegiatan komponen organisasi pendidikan. Tugas utama kepemimpinan transformasional ialah bekerja menuju target pada tindakan mengarahkan organisasi pendidikan pada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya oleh organisasi tersebut. Sehingga proses kepemimpinan pada kerangka ini sanggup dipahami dalam dua arti, yaitu: pertama, sebagai kekuatan untuk menggerakkan komponen organisasi serta memengaruhinya. Kepemimpinan hanya dijadikan alat sarana atau proses untuk membujuk orang biar bersedia melaksanakan sesuatu secara sukarela sesuai dengan keinginan sang pemimpin; kedua, kepemimpinan ialah proses mengarahkan dan memengaruhi aktivitas-aktivatas yang ada hubungannya dengan pekerjaan terhadap para anggota kelompok atau organisasi atau forum yang bersangkutan (Nurkolis, 2003:153).





Pembingkaian yang dilakukan oleh pemimpin transformasional dalam konteks ini ialah memformulasikan visi organisasi pendidikan menjadi suatu hal yang menarik. Kemenarikan formulasi visi ini menjadi hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin transformasional sebagai tangga awal dalam memulai segala sesuatu. Dalam organisasi pendidikan, formulasi visi telah bisa tertata dengan baik dan bagus, akan tetapi belum menyentuh sisi kemenarikan pada aspek bahasa dan susunan partikel kata, simbol yang dipakai serta cara penyampaian yang terlalu kaku. Visi dalam dunia pendidikan sangat berbeda dengan organisasi profit pada sisi karakteristik, keunikan, serta cenderung abstraktif, alasannya intinya pendidikan tidak bersentuhan pribadi dengan kebutuhan terdekat insan yaitu makan dan minum (biological needs), dan mempunyai tingkat citra yang tinggi jauh dari realita kekinian terlebih sisi profit organisasi pendidikan yang bersifat material.





Berdasarkan pada deskripsi tersebut, pemimpin transformasional akan memulai segala sesuatu dengan visi, yang merupakan suatu pandangan dan harapan ke depan yang bersifat futuristik untuk dicapai bersama dengan memadukan semua kekuatan, kemampuan dan keberadaan sumber daya organisasi pendidikan terutama sumber daya insan -baca bawahan dalam organisasi tersebut-. Sedangkan formulasi dari sebuah visi ini bisa dikembangkan oleh para pemimpin sendiri atau visi tersebut memang sudah ada secara kelembagaan yang sudah dibentuk dirumuskan oleh para pendahulu sebelumnya dan memang masih sahih dan selaras dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan pada dikala sekarang, sehingga formulasi dari visi tersebut tidak membutuhkan reformulasi tinggal menjabarkan dalam bentuk program-program untuk mencapai hal tersebut. Visi ini yang kemudian perlu untuk dikomunikasikan dengan seluruh komponen organisasi pendidikan untuk menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol dalam memfokuskan perjuangan dan mengomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sangat Sederhana.





Hal ini mengisyaratkan bahwa kepemimpinan transformasional dalam berbagi organisasi pendidikan tidak bersifat random yang berimplikasi pada overlap seluruh acara yang ada dalam organisasi tersebut. Di sisi yang lain, pemimpin transformasional bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan visi organisasi pendidikan menjadi suatu kenyataan. Realisasi ini yang hasilnya mewujudkan tatanan kepercayaan (trust) bagi diri seorang pemimpin untuk mengelola dan menggerakkan sumber daya organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan. Namun, dominan visi di dalam organisasi hanya sekadar pelengkap dan aksesoris belaka tanpa ada upaya pengomunikasian dengan komponen organisasi pendidikan. Jelas upaya yang demikian tidak cukup, seorang pemimpin transformasional perlu untuk berusaha sekuat tenaga mewujudkan visi itu dalam kenyataan yang pasti.





Sumber:

Setiawan, Bahar A. dkk. 2013. Transformasional Leadership (Ilustrasi di Bidang Organisasi Pendidikan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal.154-162.



Sumber https://www.asikbelajar.com