Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” mencakup hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di lalu hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan lalu menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982). Dalam perkembangan lebih lanjut berdasarkan Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan mengatakan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang sanggup bangkit diatas kaki sendiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, alasannya yaitu pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang beropini bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum perihal ilmu atau perihal dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat remaja ini tidak sanggup berkembang dengan baik bila terpisah dari ilmu. Ilmu tidak sanggup tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah alasannya yaitu terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak duduk kasus filsafati kini sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah biar argumentasinya tidak salah.
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan mencakup pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat hingga kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam tetapkan soal-soal mudah (The Liang Gie, 1999).
Kalau berdasarkan tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama menggunakan istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni spesialis matematika yang kini lebih populer dengan dalilnya dalam geometri yang tetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sebenarnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan ajaran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut ajaran filsafat kosmos, filsafat yaitu suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu yaitu segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan adonan yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu. Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada taktik pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan hingga pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan insan (Koento Wibisono dkk., 1997).
Sumber http://tesisdisertasi.blogspot.comLebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, alasannya yaitu pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang beropini bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum perihal ilmu atau perihal dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat remaja ini tidak sanggup berkembang dengan baik bila terpisah dari ilmu. Ilmu tidak sanggup tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah alasannya yaitu terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak duduk kasus filsafati kini sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah biar argumentasinya tidak salah.
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan mencakup pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat hingga kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam tetapkan soal-soal mudah (The Liang Gie, 1999).
Kalau berdasarkan tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama menggunakan istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni spesialis matematika yang kini lebih populer dengan dalilnya dalam geometri yang tetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sebenarnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan ajaran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut ajaran filsafat kosmos, filsafat yaitu suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu yaitu segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan adonan yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu. Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada taktik pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan hingga pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan insan (Koento Wibisono dkk., 1997).