Contoh Cerpen Cinta Bertepuk Sebelah Tangan dalam Bahasa Indonesia - Mau baca bagaimana cerpen mengenai cinta yang bertepuk sebelah tangan? Mungkin goresan pena berikut sanggup menjadi acuan yang sempurna bagi Anda.
Penyesalanku
Pagi itu langit terlihat sangat cerah, bahkan tak ada satupun awan hujan yang berani menampakan batang hidungnya. Meskipun sangat cerah, entah mengapa angin bertiup sangat kencang hingga menusuk tulangku. Seketika saya pun eksklusif menarik resleting jaketku.
“Hey Rama, saya sudah siap nih yok kita berangkat nanti terlambat,” teriak Shinta yang membangunanku dari lamunan di atas motorku.
“Iya bawel.. saya tuh yang dari tadi nunggu, nih pakai helmtnya,” jawabku kepada Shinta.
Shinta yaitu sahabat dekatku semenjak SD, hingga ketika ini kami berdua kuliah di universitas yang sama. Kami selalu berangkat berdua, meskipun rumah kami tidak begitu dekat, entah mengapa saya tidak keberatan untuk selalu menjemput dirinya.
“Gimana kiprah Translation mu,” tanyaku kepada dirinya.
“Sudah kok, semalam Anton membantuku menyelesaikannya,”
“Oh Anton,” jawabku dengan nada datar.
Anton yaitu sahabat laki-laki Shinta. Mereka berdua sangat erat semenjak 2 bulan yang lalu. Aku tidak pernah menanyakan lebih jauh lagi mengenai korelasi mereka. Entahlah saya tidak berani untuk menanyakannya.
Akhirnya kami pun tiba di kampus. Segera saya parkirkan kendaraanku di kawasan yang telah tersedia. Setelah itu Kami harus berpisah alasannya yaitu saya dan Shinta berada di jurusan yang berbeda. Aku yaitu mahasiswa tehnik, sedangkan ia yaitu mahasiswi bahasa asing. Sebenarnya kebersamaan kami sangatlah tidak masuk akal bila hanya dikatakan sebagi seorang teman. Kami selalu pergi, bersama, pulang, dan makan bersama, hampir setiap waktu kami habiskan bersama. Tetapi akhir-akhir ini kami jarang bertemu. Aku tidak tahu mengapa, mungkin Shinta sedang sibuk atau ia sedang menikmati waktu bersama Anton. Argghh saya tak tahu apa yang sedang saya rasakan belakangan ini.
“Lu bareng Shinta lagi ya?” sapa Bimo temanku. Bimo yaitu sahabat kami ketika Sekolah Menengan Atas dulu dan ia kini kuliah di jurusan yang sama denganku.
“Iya,” jawabku sambil melangkahkan kaki menuju ruang kelas kami yang akan dimulai sekitar setengah jam lagi.
“Apa luu udah bilang wacana perasaan lu dengan Shinta,” Bima menanyaiku. Sepertinya ia mengetahui apa yang sedang saya rasakan ketika ini.
“Hahh? bilang, gila lu, gw gag mau ngerusak persahabatan gw sama dia,” jawabku dengan nada yang agak tinggi.
“Sudahlah, gw tau apa yang lu rasain ketika ini. Gw juga tau kalau Anton si mahasiswa aturan sedang mencoba mendekatinya. Gw gag mau aja liat sahabat gw galau nantinya,” Bima menambahkan.
Sebenarnya Bima dan teman-teman lainnya telah usang memintaku untuk menyatakan perasaan ini kepada Shinta. Tetapi saya takut hal itu malah akan menjauhkanku dengan dirinya. Aku tak mau kehilangan dirinya akhir kecerobohanku. Aku pun tak tahu apa yang ada dibenak Shinta wacana posisiku di hatinya. Apakah saya seorang yang special baginya ataukah hanya sahabat saja. Lagi – lagi saya hanya sanggup melongo dan menekan perasaan ini jauh di dasar hatiku sendiri.
Selama pelajaran berlangsung saya tak berkonsentrasi sedikitpun, bahkan saya tak mendengar apa yang dosen sedang bicarakan di depan sana. Yang ada di kepalaku hanyalah Shinta. Aku terus menantikan jam pelajaran ini berakhir kemudian segera pulang bersama Shinta.
Advertisement
Setelah usang hanyut dalam lamunanku, kesannya jam pelajaran pun telah habis. Saat saya hendak beranjak dari kursiku BIP… Biipp… Bippp… Hp ku berbunyi . Ternyata sms tersebut tiba dari Shinta.
Aku pulang sama Anton
Kayaknya saya gg bsa ngantrin
Kamu nyari buku deh. Maaf ya,
Aku hanya tersenyum miris menerima SMS itu, lagi-lagi saya tak sanggup berbuat apa-apa. Wajar alasannya yaitu Shinta bukanlah siapa-siapaku.
Semenjak dari hari itu, Shinta semakin menjauh dariku. Kami tak lagi mempunyai waktu untuk bantu-membantu lagi. Hingga kesannya saya menerima kabar dari Juwita bahwa Shinta dan Anton telah berpacaran. Segera malam itu saya pergi menemuinya. Aku ingin memastikan kabar yang saya dengar dengan bertanya eksklusif kepadanya.
“Shin, apa benar kau dan Anton telah berpacara?” tanyaku sambil menahan perih di hati ini.
“Iya benar, maaf ya saya belum sempat memberi tahumu,” jawab shinta. Aku tak melihat sedikitpun penyesalan di wajahnya. Yang kulihat hanyalah Shinta yang sedang senang alasannya yaitu jatuh cinta. Lalu tiba-tiba kata itu keluar dari mulutku.
“Shinta bahwasanya saya ingin menanyakan posisiku di hatimu, saya telah mengenalmu semenjak kecil dan kini rasa itu telah tumbuh menjadi cinta, ya saya cinta padamu”
Shinta pun kaget wajahnya yang awalnya ceria kini menjadi galau “kenapa kau berbicara ibarat itu? Aku pun sayang kepadamu, tetapi sebagai sahabatku. Kau sangat baik kepadaku, dan kita telah melewati waktu indah bersama – sama, namun saya tak sekalipun menyangka kau akan mengangapku lebih dari seorang sahabat. Maafakan saya telah mengecewakanmu. Mungkin kalau kau mengatakannya semenjak dahulu, kita tidak akan ibarat ini,” jawab shinta dengan mata berkaca – kaca.
“Aku yang seharusnya meminta maaf, Sudahlah saya juga ikut senang dengan kabar ini kok. Semoga kau dan Anton sanggup menjadi pasangan yang baik,” jawabku dengan rasa pahit yang semakin menusuk hatiku.
“Tapi kita masih bertemankan?” tanya Shinta. “masih dong, tenang saja saya masih akan menjadi sahabatmu,” jawabku dengan senyum yang miris.
Tiga bulan semenjak kejadian itu, saya dan Shinta tak pernah bertemu lagi bahkan kami berdua tak pernah lagi memberi kabar melalui pesan singkat ataupun telepon. Hari demi hari kulewati dengan rasa penyesalan, hingga kini saya masih murka kepada diriku sendiri atas kepengecutanku selama ini.
Malam itu terasa sangat dingin, hujan yang telah turun sedari tadi tak kunjung berhenti. Aku pun hanya sanggup meringkuk di dalam kamar tanpa melaksanakan apa-apa. Ketika mataku hendak tertutup, Bipp… Bip… Biiiippp, tiba-tiba HP ini berbunyi. Dengan malas saya membacanya, tetapi betapa terkejutnya saya sehabis mengetahui bahwa Shitnya yang mengirimku pesan.
Malam Rama, maaf saya mengganggumu
Anton memintaku untuk putus
Pagi itu langit terlihat sangat cerah, bahkan tak ada satupun awan hujan yang berani menampakan batang hidungnya. Meskipun sangat cerah, entah mengapa angin bertiup sangat kencang hingga menusuk tulangku. Seketika saya pun eksklusif menarik resleting jaketku.
“Hey Rama, saya sudah siap nih yok kita berangkat nanti terlambat,” teriak Shinta yang membangunanku dari lamunan di atas motorku.
“Iya bawel.. saya tuh yang dari tadi nunggu, nih pakai helmtnya,” jawabku kepada Shinta.
Shinta yaitu sahabat dekatku semenjak SD, hingga ketika ini kami berdua kuliah di universitas yang sama. Kami selalu berangkat berdua, meskipun rumah kami tidak begitu dekat, entah mengapa saya tidak keberatan untuk selalu menjemput dirinya.
“Gimana kiprah Translation mu,” tanyaku kepada dirinya.
“Sudah kok, semalam Anton membantuku menyelesaikannya,”
“Oh Anton,” jawabku dengan nada datar.
Anton yaitu sahabat laki-laki Shinta. Mereka berdua sangat erat semenjak 2 bulan yang lalu. Aku tidak pernah menanyakan lebih jauh lagi mengenai korelasi mereka. Entahlah saya tidak berani untuk menanyakannya.
Akhirnya kami pun tiba di kampus. Segera saya parkirkan kendaraanku di kawasan yang telah tersedia. Setelah itu Kami harus berpisah alasannya yaitu saya dan Shinta berada di jurusan yang berbeda. Aku yaitu mahasiswa tehnik, sedangkan ia yaitu mahasiswi bahasa asing. Sebenarnya kebersamaan kami sangatlah tidak masuk akal bila hanya dikatakan sebagi seorang teman. Kami selalu pergi, bersama, pulang, dan makan bersama, hampir setiap waktu kami habiskan bersama. Tetapi akhir-akhir ini kami jarang bertemu. Aku tidak tahu mengapa, mungkin Shinta sedang sibuk atau ia sedang menikmati waktu bersama Anton. Argghh saya tak tahu apa yang sedang saya rasakan belakangan ini.
“Lu bareng Shinta lagi ya?” sapa Bimo temanku. Bimo yaitu sahabat kami ketika Sekolah Menengan Atas dulu dan ia kini kuliah di jurusan yang sama denganku.
“Iya,” jawabku sambil melangkahkan kaki menuju ruang kelas kami yang akan dimulai sekitar setengah jam lagi.
“Apa luu udah bilang wacana perasaan lu dengan Shinta,” Bima menanyaiku. Sepertinya ia mengetahui apa yang sedang saya rasakan ketika ini.
“Hahh? bilang, gila lu, gw gag mau ngerusak persahabatan gw sama dia,” jawabku dengan nada yang agak tinggi.
“Sudahlah, gw tau apa yang lu rasain ketika ini. Gw juga tau kalau Anton si mahasiswa aturan sedang mencoba mendekatinya. Gw gag mau aja liat sahabat gw galau nantinya,” Bima menambahkan.
Sebenarnya Bima dan teman-teman lainnya telah usang memintaku untuk menyatakan perasaan ini kepada Shinta. Tetapi saya takut hal itu malah akan menjauhkanku dengan dirinya. Aku tak mau kehilangan dirinya akhir kecerobohanku. Aku pun tak tahu apa yang ada dibenak Shinta wacana posisiku di hatinya. Apakah saya seorang yang special baginya ataukah hanya sahabat saja. Lagi – lagi saya hanya sanggup melongo dan menekan perasaan ini jauh di dasar hatiku sendiri.
Selama pelajaran berlangsung saya tak berkonsentrasi sedikitpun, bahkan saya tak mendengar apa yang dosen sedang bicarakan di depan sana. Yang ada di kepalaku hanyalah Shinta. Aku terus menantikan jam pelajaran ini berakhir kemudian segera pulang bersama Shinta.
Setelah usang hanyut dalam lamunanku, kesannya jam pelajaran pun telah habis. Saat saya hendak beranjak dari kursiku BIP… Biipp… Bippp… Hp ku berbunyi . Ternyata sms tersebut tiba dari Shinta.
Aku pulang sama Anton
Kayaknya saya gg bsa ngantrin
Kamu nyari buku deh. Maaf ya,
Aku hanya tersenyum miris menerima SMS itu, lagi-lagi saya tak sanggup berbuat apa-apa. Wajar alasannya yaitu Shinta bukanlah siapa-siapaku.
Semenjak dari hari itu, Shinta semakin menjauh dariku. Kami tak lagi mempunyai waktu untuk bantu-membantu lagi. Hingga kesannya saya menerima kabar dari Juwita bahwa Shinta dan Anton telah berpacaran. Segera malam itu saya pergi menemuinya. Aku ingin memastikan kabar yang saya dengar dengan bertanya eksklusif kepadanya.
“Shin, apa benar kau dan Anton telah berpacara?” tanyaku sambil menahan perih di hati ini.
“Iya benar, maaf ya saya belum sempat memberi tahumu,” jawab shinta. Aku tak melihat sedikitpun penyesalan di wajahnya. Yang kulihat hanyalah Shinta yang sedang senang alasannya yaitu jatuh cinta. Lalu tiba-tiba kata itu keluar dari mulutku.
“Shinta bahwasanya saya ingin menanyakan posisiku di hatimu, saya telah mengenalmu semenjak kecil dan kini rasa itu telah tumbuh menjadi cinta, ya saya cinta padamu”
Shinta pun kaget wajahnya yang awalnya ceria kini menjadi galau “kenapa kau berbicara ibarat itu? Aku pun sayang kepadamu, tetapi sebagai sahabatku. Kau sangat baik kepadaku, dan kita telah melewati waktu indah bersama – sama, namun saya tak sekalipun menyangka kau akan mengangapku lebih dari seorang sahabat. Maafakan saya telah mengecewakanmu. Mungkin kalau kau mengatakannya semenjak dahulu, kita tidak akan ibarat ini,” jawab shinta dengan mata berkaca – kaca.
“Aku yang seharusnya meminta maaf, Sudahlah saya juga ikut senang dengan kabar ini kok. Semoga kau dan Anton sanggup menjadi pasangan yang baik,” jawabku dengan rasa pahit yang semakin menusuk hatiku.
“Tapi kita masih bertemankan?” tanya Shinta. “masih dong, tenang saja saya masih akan menjadi sahabatmu,” jawabku dengan senyum yang miris.
Tiga bulan semenjak kejadian itu, saya dan Shinta tak pernah bertemu lagi bahkan kami berdua tak pernah lagi memberi kabar melalui pesan singkat ataupun telepon. Hari demi hari kulewati dengan rasa penyesalan, hingga kini saya masih murka kepada diriku sendiri atas kepengecutanku selama ini.
Malam itu terasa sangat dingin, hujan yang telah turun sedari tadi tak kunjung berhenti. Aku pun hanya sanggup meringkuk di dalam kamar tanpa melaksanakan apa-apa. Ketika mataku hendak tertutup, Bipp… Bip… Biiiippp, tiba-tiba HP ini berbunyi. Dengan malas saya membacanya, tetapi betapa terkejutnya saya sehabis mengetahui bahwa Shitnya yang mengirimku pesan.
Malam Rama, maaf saya mengganggumu
Anton memintaku untuk putus
Aku kini ada di Café.
Tanpa pikir panjang saya bergegas menuju café tersebut, kuterobos guyuran hujan malam itu tanpa rasa takut sedikit pun alasannya yaitu saya sangat mengkhawatirkan dirinya. Setelah hingga ku lihat Shinta sedang menagis. Aku juga melihat beberapa piring dan gelas yang pecah.
“Aku dan Anthon bertengkar. Dia memnitaku untuk putus dan pergi meninggalkanku,” katanya sambil menangis.
“Sudahlah kau tak pantas menangisinya,” jawabku
“Tetapi saya telah melaksanakan segalanya untuk dirinya, Sakit.. hatiku sakittt Rama,”
“Jangan menangis, mari kuantarkan pulang, rasa sakit mu itu tak sesakit rasa ini yang terlalu mengharapkanmu,” jawabku sambil menuntunya keluar dari café itu.
Aku pun mengantarnya pulang dan beberapa hari dari kejadian itu saya menerima kabar bahwa Shinta sudah kembali bersama Anthon. Kini saya sanggup merelakannya sekarang, saya pun telah berdamai dengan hatiku. saya tahu bahwa Shinta sangat menyayangi Anthon hingga tidak mungkin bagiku untuk mencari celah di hatinya.