Saya tidak sedang membicarakan ritual ibadah yang sakral. Tidak.
Judul dan gambar hanya sebagia bait saja. Biar ingin tau dan dibaca.
Maaf, ya. Maaf, dong.
…
Ini perihal pengalaman beberapa hari kemarin, yaitu mempersunting goresan pena –menyunting maksudnya, ea- seorang rekan kampus yang katanya ikut lomba menulis autobiografi.

Beliau meminta tolong Saya memoles tulisannya. Tidak lupa pula meminta ditambahkan kata-kata puitis. Mungkin dia menganggap Saya bujangga, yang sedikit bisa menciptakan huruf-huruf menari dan berirama.
Tapi alhasil Saya malah rombak semuanya. Tidak sopan memang.
Saya sering dimintai hal semacam ini. Entah itu finishing sebuah tulisan, menentukan judul, tagline, hingga mengusut partikel-partikel tanda baca yang kurang pas ditempatkan.
Bahkan pernah dimintai menciptakan judul usulan Pekan Kreatifitas Mahasiswa (PKM). Tapi usulan itu tidak lolos. Mungkin lantaran judulnya jelek. Heu.
Saya tidak akan bercerita panjang di posting ini. Silakan membandingkan dua goresan pena sebelum dan sehabis Saya sunting –cie sunting, cie- kemudian tanggapi. Saya akan sangat senang menerimanya …
Sebelum Disunting

Jebakan Keberuntungan
Cerita ini bermula di suatu hari, penghujung malam. Tepatnya tanggal 25 juli 1995. Anggota keluargaku berjumlah delapan orang. Tiga wanita yaitu ibuku, tetehku dan aku. Lima laki laki yaitu papaku dan empat saudara laki lakiku. Sebut saya […], untuk yang pertama kali mendengar namaku, saya tahu kalian niscaya berfikir namaku aneh, saya juga begitu. Sempat saya bergidik, kutanyakan pada papaku kenapa saya diberi nama […]. Katanya tahun 1995 yaitu masa emas, masa pemerintahan Soeharto. Harga sembako dan kehidupan masa itu tidak susah menyerupai sekarang
Aku ingat sekali ketika saya masih gemas gemasnya. Tetehku dan empat kaka laki lakiku hidup di Tasik, papa dan ibuku di Jakarta. Katanya, mereka mencari uang disana. Kakak perempuanku sudah menikah ketika itu. Dia dipercaya menjaga semua adiknya. Saat masih kecil, saya sangat dekat sekali dengan semua kakakku. Kemudian setelah umurku lima tahun papa dan ibu kembali tinggal di Tasikmalaya. Aku didaftarkan ke Taman Kanak-kanak Sukapura yang ada di Jl.Letnan Harun komplek perkantoran kabupaten Tasik. Yang saya tahu sekarang, Tknya sudah hilang tapi komplek perkantorannya ada hanya saja berubah jadi milik kota. Kebetulan, ibu dan papaku menjual nasi di kantin komplek perkantoran. Kali ini setiap hari saya bisa bertemu dengan mereka.
Selama enam tahun saya bersekolah di SDN Sukarindik 3, jaraknya tidak mengecewakan jauh dari rumah, saya berjalan kaki kesana, senang lantaran berangkat bersama sahabat teman. Kemudian kali ini saya duduk di dingklik SMPN 16 Tasikmalaya. Padahal saya ingin sekolah di SMPN 5 tapi kata ibu tidak boleh. Jaraknya jauh, harus pake motor sementara SMPN 16 tidak jauh dari rumah bisa jalan kaki, sepanjang jalan menuju SMP saya bisa melihat hamparan luas sawah hijau ketika matahari malu malu tiba disana saya bisa melihat tangga kawah gunung galunggung disana, sangat menyejukkan.
Sejak Sekolah Menengan Atas saya mempunyai banyak cita cita dan keinginan jangka panjang, menyerupai ingin masuk universitas popular, graduate S2 di luar negeri, sasaran menikah, jumlah anak, rumah keinginan hingga tipe kendaraan beroda empat impian, semua yang ingin saya miliki dan saya alami ditulis dalam note corat coretku hasilnya terbukti! Beberapa keinginan yang tertulis itu terwujud tanpa saya sadari telah menulisnya.
Kata orang masa Sekolah Menengan Atas yaitu masa paling indah, menurutku juga. Tahun 2011 hingga 2014 saya sekolah di SMAN 4 Tasikmalaya, saya tidak diterima di SMAN 2 Tasikmalaya padahal jaraknya lebih dekat dari rumah. Menyebalkan, dua hari dua malam saya nangis dikamar. Bayangkan saja temanku berhasil dan saya seorang yang gagal. Tapi di SMA4 saya bertemu banyak sahabat, guru guru yang menyenangkan, sahabat laki laki rasa martabak special dan tentu saya jadi tahu lingkungan cieunteung, paseh dan cilembang.
Di tingkat under graduate, saya tetapkan untuk menjadi seorang pengajar atau guru, profesi yang cukup menyenangkan, semenjak kecil saya sering bemain sekolah sekolahan tentu saya menjadi gurunya. Guru yaitu profesi yang mulia jagoan tanpa tanda jasa. saya setuju, tapi saya punya alasan penting sendiri. Karena saya tak mungkin jadi model catwalk, berlenggak lenggok dijalan kucing menciptakan orang kagum dan bilang wow, setidaknya saya bisa jadi model di depan kelas hehe. Memasuki dingklik perguruan tinggi tinggi saya tetapkan untuk menentukan kampus yang berdomisili di Tasik. Toh di tasik banyak kampus yang bisa mengakibatkan saya seorang guru profesional.
Aku dan ibuku tinggal berdua dirumah. Tidak, ibuku tidak bercerai dengan papaku. Ketika saya kelas enam SD, papaku meninggal dunia. Yang saya ingat, awal ramadhan tepatnya enam ramadhan papaku meninggal, dia tidak sakit. Malam sebelum papaku meninggal saya dan papaku berangkat berdua ke mesjid untuk melaksanakan sholat tarawih. Dia menggunakan koko putih sarung biru dan peci hitam kesukaannya. Entah kenapa diakhir terawih dia menyalami semua jamaah, tetanggaku yang bilang. Pukul tiga pagi ketika ibuku sedang mengaji di tengah rumah, dia melihat ayahku pergi ke wc kemudian pukul tiga lebih tiga puluh menit ketika kita harus menyantap sahur ayahku tidak keluar kamar. Ibupun heran biasanya tidak begitu, ibuku menghampirinya dan innalillahi dia sudah tidak bernyawa.
Awalnya di SMPTN saya menentukan jurusan PGSD dan PGPAUD UPI Tasik, kebetulan saya menentukan jurusan sama dengan salah satu sahabatku Tata, kita juga menciptakan planning kedua dimana kita tidak lolos seleksi harus ada satu kampus yang mau mendapatkan kita. Kampus itu yaitu universitas siliwangi, disana kami menentukan jurusan yang sama pula, jurusan pendidikan bahasa inggris. Setelah kita melaksanakan wawancara di kampus, diluar dugaan. Dia ikut seleksi SBMPTN tanpa mengajakku. Beruntungnya dia lolos, saya kalang kabut lantaran dia tidak terbuka perihal keikut sertaannya di SBMPTN. Aku sendiri terjebak, terjebak pada planning cadangan yang kita berdua buat di UNSIL ini.
Permulaan kuliahku dijurusan b.inggris berjalan cukup baik.. Belajar bahasa asing yaitu pilihanku bukan bersedia menjadi budak mereka toh tidak ada salahnya mempelajari bahasa orang lain selama masih memegang teguh bahasa sendiri. Coba kau gunakan sudut pandang yang sama denganku mungkin kita akan sama sama setuju. Masa orientasi kampus, saya mantap masuk UKM kerohanian. Aku harus menjadi lebih baik! Berubah! Makara power ranger bernbaju syar’i! Dekat dengan tuhan, mencicipi ketenangan dan bertemu dengan orang orang yang masyaAlloh yaaaah. Tahajud, dhuha, majelis ta’lim mereka selalu mengingatkanku untuk melaksanakan itu. Tidak memaksa tetapi mengajak.
Beberapa ahad setelah kuliah dimulai saya sanggup kabar dari sahabat katanya saya harus check persyaratan masuk kampus yang belum lengkap. Ternyata benar namaku berlabel merah, setelah di tanyakan kepada staff BAA disana saya yaitu calon peserta bidik misi. Percaya ga percaya sih, saya tidak perlu membayar biaya kuliah malah saya mendapat uang perbulannya, Alhamdulillah setidaknya saya tidak merepotkan ibu lagi sekarang. Hal yang saya dapatkan ini harus saya bayar dengan perjuangan yang begitu keras dalam belajar.
Disamping kuliah akupun mengajar Taman Kanak-kanak Al-Qur’an di dekat rumahku. Lucunya gajinya hanya 40 ribu per bulan. Tidak dilema saya hanya mengajar setiap jum’at sabtu toh kuliahpun saya tidak bayar, ilmu yang saya dapatkan gratis ini tidak akan memudar hanya lantaran di bayar 40 ribu saja. Disamping itu, saya paham keadaan orang renta muridku sebagian besar yaitu seorang buruh. Aku senang bertemu dengan mereka walau terkadang anak anak itu menyebalkan dan menciptakan kepala ini pusing. Setidaknya saya merasa beruntung masih punya hati nurani untuk memanfaatkan ilmu dan bersekutu dengan kaum yang benar benar haus akan ilmu pengetahuan. Murid TKku sangat senang bila saya bercerita. Mereka selalu terperongo ketika ku ceritakan hal hal gres apalagi ketika saya ceritakan keinginanku pergi ke luar negeri naik pesawat, mereka terlihat kagum entah tidak mengerti . Aku beruntung! Hal hal yang menjebak ini ternyata indah.
Sesudah Disunting

Jebakan Keberuntungan
Cerita ini bermula pada suatu hari, di kepingan malam yang paling gelap.
25 Juli 1995.
Sebuah keluarga menggenapkan anggotanya. Sejabang mungil nan suci merengek; entah senang atau takut, tidak jelas. Melihat dunia mungkin memang memberinya dua kemungkinan; menjadi orang yang senang atau sengsara, tapi sudah dipastikan … orang renta bayi itu akan banting tulang peras keringat demi mengukus kebahagiaannya semoga benar-benar sanggup dinikmati.
Jabang itu yaitu aku, […], anak bungsu dari enam bersaudara. Satu kakak perempuan, empat laki-laki. Anak dari sepasang insan paling senang di dunia, ketika itu.
[…], terdengar asing dan abnormal di pendengaran siapapun, termasuk diriku sendiri. Pernah sekali kutanyakan pada ayah, apa alasannya yaitu dia memberiku nama ini. Katanya, tahun 1995 itu yaitu masa emas; ketika harga sembako, kurs rupiah, dan biaya hidup lainnya tidak menyerupai sekarang.Semoga memang, menyerupai filosopi dari nama yang diberikan ayah, kelahiranku tidak membawa kesusahan, melainkan membawa kebahagiaan; tidak hanya di hari ketika saya merengek di haribaan ibu, tapi juga seterusnya.
Aku diasuh oleh kakak wanita hingga –sekira- umur lima tahun. Sebab ayah dan ibu, pada rentang waktu itu, mencari nafkah di Jakarta untuk menghidupi lima anaknya yang ada di Tasikmalaya. Lima, lantaran kakak perempuanku sudah menikah.
Pada umur lima, ketika ayah dan ibu sudah kembali dari perantauannya, saya disekolahkan di Taman Kanak-kanak (TK) Sukapura. Letaknya di Jl. Letnan Harun, komplek perkantoran Kabupaten Tasikmalaya. Tempat yang hari ini hanya bisa dikenang dalam pikiran saja, tidak bisa dinapaktilasi secara fisik. Sebabnya, Taman Kanak-kanak Sukapura sudah tidak ada, tinggal komplek perkantorannya saja yang tetap menyerupai dulu. Itupun sudah dialihkepemilikkan-kan; menjadi milik Kota Tasikmalaya.
Masa Taman Kanak-kanak benar-benar menjadi masa pengakrabanku dengan orang tua, segala puji bagi Allah, mereka diskenariokan berjualan nasi di komplek itu. Makara saya bisa bertemu mereka tidak hanya di rumah saja, melainkan di sekolah juga.
Fase berikutnya saya lalui di SDN (SDN) Sukarindik 3. Jarak sekolahku tidak mengecewakan jauh dari rumah. Tapi saya menentukan berjalan kaki. Melangkah bersama teman-teman itu menyenangkan.
Kemudian, setelah lulus SD, episode hidupku berlanjut di SMP Negeri (SMPN) 16 Tasikmalaya. Padahal saya ingin sekolah di SMPN 5. Tapi, kata ibu tidak boleh. Sebabnya lantaran jarak. Harus pakai motor; sementara SMPN 16 tidak terlalu jauh dari rumah. Bisa jalan kaki.
Aku masih ingat, sepanjang jalan menuju sekolah, padi yang tersapu angin melambai-lambai seolah-olah menyalamiku. Pun dalam beberapa kesempatan, mentari yang terlambat bertugas membelah sejuknya udara pagi, membuatku bisa melihat terang tangga kawah Gunung Galunggung.
Aku lulus SMP.
Seperti anak dewasa lain, saya mempunyai banyak keinginan. Bahkan mungkin overdosis. Dalam buku catatanku tertulis: 1) Masuk universitas ternama. (2) Melanjutkan S2 di luar negeri. (3) Target menikah. (4) Jumlah anak. (5) Rumah impian, dll. hingga tipe kendaraan beroda empat pun saya tuliskan.
Semua pengalaman dan harapan, saya tuliskan dalam catatanku itu. Sampai hari ini, beberapa baris sudah saya coret; tanda bahwa hal itu sudah saya capai.
Masa Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu masa yang paling indah. Tiga tahun yang sangat berkesan sekali; 2011 – 2014 di SMAN 4 Tasikmalaya . Meskipun pernah ada kekecewaan lantaran gagal masuk ke Sekolah Menengan Atas yang telah saya rencanakan. Tidak apa-apa.
Ceritanya, ketika saya gagal … kasur tidurku menyerupai disiram air. Basah air mata. Dua hari dua malam saya menjerit dalam keheningan. Tembok kamar serasa memarahi ketidakmampuanku. Ah, tapi ternyata itu hanya soal waktu.
Iya. Waktu terus berjalan, mengantarkanku pada banyak sahabat, guru yang menyenangkan, sahabat pria rasa martabak spesial, dan banyak hal.
Di tingkat under graduate, saya tetapkan untuk menjadi seorang pendidik, jagoan tanpa tanda jasa. Aku punya alasan sendiri, ya … saya tak ingin jadi model catwalk, hehe.
Memasuki dingklik perguruan tinggi tinggi, saya putuskan menentukan kampus lokal. Toh, di Tasik pun banyak kampus yang bisa menjadikanku seorang guru profesional. Ada Universitas Pendidikan Indonesia, ada juga Universitas Siliwangi. Tapi takdir membawaku ke Unsil, jurusan Bahasa Inggris. Alhamdulillaah. Meskipun bersama-sama masuknya diriku ke Unsil didahului drama yang sungguh membuatku lelah. Serasa terjebak jaring-jaring putus asa.
Di Unsil saya bertekad untuk berkembang menjadi lebih baik, makanya saya menjerumuskan diri ke Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam Siliwangi (KISI). Di sana, saya menemukan rekan-rekan yang sekufu, maksudnya sama-sama sedang memperbaiki kehidupan akhirat. Amalan-amalan sunnahku jadi banyak yang mengingatkan. Selain juga terus memacuku lebih baik dalam urusan sosial. Segala Puji bagi Allah.
Sembari kuliah, saya mengajar Taman Kanak-kanak Al-Qur’an di dekat rumah. Gajinya hanya 40 ribu per bulan. Tapi tidak masalah. Bukan nominal tujuanku. Lagipula saya hanya mengajar setiap jum’at dan sabtu. Ilmu yang saya dapatkan gratis dan mustahil ada di kelas ini, tidak akan memudar hanya lantaran dibayar 40 ribu saja.
Aku pusing mengurus anak-anak. Pusing yang menyenangkan maksudku. Mungkin orang paling beruntung di dunia yaitu […].
Murid-muridku memang bandel, tapi mereka selalu memutihkan nuraniku ketika antusiasme dan binar mata mereka berkilat-kilat. Kerap kali, itu terjadi ketika saya bercerita perihal mimpi-mimpi yang saya tuliskan tadi; menyerupai perihal keinginanku untuk naik pesawat ke luar negeri. Entah, mereka selayak bintang yang ada di bumi, perlu disayangi dan dijaga dengan hati yang cahaya.
Keputusasaanku dahulu kini menjadi indah. Terimakasih kekecewaan, kau ajarkanku pentingnya untuk tetap tegar meski halang menghadang dan onak merintang.
Bersama sedikit kisah yang tertulis ini, saya sampaikan undangan untuk mendoakanku menjadi seseorang yang terus memperbaiki diri, terlebih dari itu … menjadi anak yang berbakti. Agar saya bisa menjadi satu di antara tiga wasiat yang tidak akan pernah putus hubungannya ketika orang tuaku sudah tiada.
Aku kini hanya tinggal bersama ibu. Ayahku sudah bertemu kekasihnya yang sejati; Allah swt. Semoga kau hening di alam sana, ya, ayah …
Ekstrak Tulisan
Sebetulnya Saya buat dua suntingan; yang satu dirombak sepenuhnya, yang satu lagi diperbaiki partikel goresan pena dan diksinya saja. Ya … Saya tahu diri, lah. Benar-benar lancang jikalau dirombak sepenuhnya kemudian tidak memperlihatkan pilihan untuk menentukan mana yang akan diperlombakan.

Saya juga memberi dia dua pilihan, “Silakan mau pakai yang mana saja. Saya kirim dua; yang dirombak sepenuhnya buat tumpuan saja. Tapi jikalau mau dilombakan juga tidak apa-apa.”
Gitu.
Lalu kekurangtepatan apa saja yang ada di goresan pena awal?
Menurut buku yang pernah Saya baca –awalnya saja, belum tamat- kesalahan yang sering dilakukan penulis pemula adalah: Terlalu banyak ‘aku’ atau kata ganti sejenis dalam satu kalimat.
Maka yang Saya lakukan bersama-sama yaitu memangkas hal itu.

Lalu kemudian diksi yang kaku dirubah menjadi diksi yang bermajas semoga sedikit hidup.
Partikel-partikel salah daerah juga Saya antar pulang ke tempatnya yang paling sesuai, supaya ketika dibaca … jedanya pas.
Meskipun ya … pas untuk Saya, sih. Tidak tahu untuk orang lain. Pft.
Rumus Menulis Bagus
Tidak ada rumusnya.
Ini serius.
Sub judul ini dibentuk untuk menambah jumlah kata di posting ini saja. Wkwk.
Tapi ada sebuah kisah dari Novelis nomor wahid Indonesia, Habiburrahman El-Shirazy, ketika karya pertamanya Pudarnya Pesona Cleopatra diterima khalayak ramai.

Ceritanya … dia tidak pede dengan naskah buku tersebut hingga alhasil ia membagikannya untuk dibaca oleh 100 orang kawannya.
Dari 100 orang itu, Saya lupa, kebanyakan bilang bahwa naskahnya bagus. Padahal Kang Abik, panggilan Habiburrahman El-Shirazy, tidak menilai bagus.
Jadi … kembali ke awal: tidak ada rumus menulis bagus. Sebab, buruk berdasarkan kita belum tentu berdasarkan orang lain.
Udah gitu aja.
Sumber https://satriabajahitam.com