Saturday, March 24, 2018

√ Anggapan Negatif Dan Keliru Perihal Game Dari Masyarakat Umum Indonesia

Sudah sangat lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari jikalau ada orang renta yang melarang keras anaknya bermain game. Sebagian besar orang renta menganggap bermain video game ialah sesuatu hal yang tidak ada faedahnya sama sekali untuk dilakukan. Orang renta lebih banyak menyuruh anaknya untuk belajar, belajar, dan belajar. Tidak mengherankan alasannya ialah orang renta lebih melihat sisi negatif dari game dimana banyak insiden seorang anak mengalami kecanduan bermain dan gagal dalam sekolahnya.


Padahal jikalau ditinjau lebih jauh, tidak seluruhnya anak yang salah. Banyak orang renta yang kurang kesadaran wacana mengetahui apa yang anak lakukan. Dalam hal ini banyak orangtua yang membiarkan atau tidak membatasi anak bermain game, balasannya lama-kelamaan menjadi kecanduan berat. Anggapan negatif terhadap game ini akhirnya menjadi jamak di masyarakat Indonesia.


Namun dengan berkembangnya eSport (Olahraga Elektronik) dengan video game sebagai medianya, anggapan negatif wacana game tersebut sanggup ditepis. Munculnya industri game online dan eSport menjadikan bermain game bukanlah hal yang sia-sia lagi, bahkan sangat menjanjikan bagi masa depan. Orang yang berbakat dalam sebuah game eSport dan bisa menekuni sanggup menghasilkan pundi-pundi uang yang sangat besar.


Berikut merupakan beberapa anggapan negatif dan keliru wacana game dari masyarakat dan orang renta yang perlu diluruskan:


Game tidak berguna


Sudah disebutkan sebelumnya, bahwa industri eSport dikala ini sangatlah menjanjikan ini menjadikan bermain game dengan baik sanggup mengantarkan seseorang meraih kesuksesan di dunia game. Tentunya ini harus disertai perjuangan yang tinggi dan tidak bermain game dengan asal-asalan saja.


Game hanya membuang waktu


Ya, jikalau bermain game secara asal-asalan maka game hanya membuang waktu. Namun jikalau ditekuni dan dilakukan dengan pola dan menujukkan perkembangan maka bermain game sanggup semakin mengasah keahlian. Pemain profesional eSport setidaknya bermain game lebih dari 8 jam sehari untuk berlatih dan mengasah kemampuan pada game yang difokuskan.


Game mengakibatkan kecenderungan untuk berbuat kejahatan


Tidak sanggup dipungkiri bahwa pembuat dan pengembang game memasukkan unsur kekerasan dalam game yang dibuat. Unsur kekerasan ini sangat berpotensi untuk ditiru oleh gamer. Namun sebaliknya, banyak penelitian yang menyebutkan bermain game justru bisa mengasah otak dan keterampilan gamer itu sendiri. Banyak game dimana gamer dituntut untuk berpikir cepat dan merencanakan taktik bagaimana biar sanggup menang, hal ini sanggup menciptakan gamer menjadi cepat berpikir dan bisa mengambil keputusan yang tepad dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu justru nongkrong-nongkrong yang tidak terang lebih berpotensi mengakibatkan kegaduhan dibanding bermain game.


Game mengakibatkan kebodohan


Ini anggapan yang sangat keliru. Tingkat intelejensi seseorang tergantung dari orang tersebut sendiri, bukan game yang mengakibatkan seorang anak gagal dalam pelajaran, melainkan anak tersebut memang kurang bisa pada bidang pelajaran tersebut. Banyak juga dijumpai anak yang sangat hobi bermain game namun prestasinya di sekolah juga sangat brilian.


Game mengakibatkan Anti-Sosial


Dengan kemajuan teknologi, jaman kini game sanggup dimainkan secara online dimana sebagai gamer harus berinteraksi dengan gamer lainnya. Dalam game online juga disediakan sarana berkomunikasi dengan pemain lainnya baik itu melalui chat text maupun bunyi atau voice call. Ini merupakan interaksi sosial secara virtual dalam dunia game yang juga menciptakan pemain harus berkomunikasi dengan game dan pemain lainnya. Tak jarang banyak orang yang saling kenal melalui game dan bertemu di dunia nyata, bahkan ada yang hingga menikah juga lho!!. Namun memang masih cukup sulit untuk melaksanakan kontrol terhadap interaksi sosial dalam game.


Game hanya untuk anak kecil


Sepertinya di semua negara yang menjadi produksi dan sasaran distribusi game mempunyai sistem rating masing-masing. Contoh saja di Amerika Utara ada ESRB (Entertainment Software Rating Board), di Uni Eropa ada PEGI (Pan European Game Information), di Indonesia sendiri ada IGRS (Indonesian Game Rating System). Sistem rating ini mengelompokkan game menurut usia minimal yang sanggup mengkonsumsi atau memainkan konten game tersebut. Kaprikornus banyak game yang justru anak kecil sebaiknya dihentikan untuk memainkan. Terlebih lagi kebanyakan atlet eSport yang aktif berada pada usia dewasa.


Game bukan hal yang produktif


Dengan adanya eSport hal ini tentu sudah terbantahkan. Di lain hal, aneka macam macam cara sanggup dilakukan agar  bermain game menjadi acara produktif, positif dan menghasilkan. Trend bermain game sembari streaming menjadi sebuah hal yang sangat produktif ketika bermain game, alasannya ialah streaming sanggup dijadikan sarana bagi sponsor untuk promosi, bagi pemain tentunya sanggup menghasilkan. Belum lagi video gameplay yang direkam bisa diupload ke Youtube dan di monetisasi sehingga menghasilkan uang melalui Google Adsense.


Game tidak bisa menjadikan kaya dan sukses secara material


Sudah banyak atlet eSport yang mengambarkan sanggup sukses secara material dari hasil bermain game. Mulai dari administrasi yang memperlihatkan honor bulanan, sponsor yang terus memberi pinjaman material, hingga pembagian hadiah jikalau menang turnamen. Bayangkan saja sebagai pola turnamen The Intenational ke 8 Dota 2, total hadiahnya mencapai $25.000.000 atau setara hampir Rp 300.000.000.000 dimana juara 1 mendapat hingga Rp 150.000.000.000 dengan 1 tim hanya berisi 5 orang, sudah terbayang kan 1 orang kira-kira berapa yang dihasilkan?


Game tidak bisa mendidik anak


Saat ini banyak developer yang merancang game biar sanggup dipakai dalam pendidikan. Banyak muncul game-game yang bisa memicu kreatifitas anak didik hingga game yang diubahsuaikan dengan pelajaran. Di Google Play Store sendiri juga sangat banyak game mobile yang sarat akan pendidikan dan pengetahuan. Disela kesibukan orang tua, tentunya akan sangat anggun jikalau anak bisa memanfaatkan gadget untuk belajar.


Game hanya menghabiskan uang


Dalam sebuah game biasanya disematkan fitur premium didalamnya dimana hanya bisa dipakai gamer jikalau membelinya. Banyak gamer yang berlomba-lomba untuk membeli fitur premium contohnya skin atau item yang menambah efek tertentu dalam game yang tentunya membutuhkan uang, bahkan ada item yang harganya hingga ratusan juta rupiah. Namun dalam hal ini item game sanggup dijadikan sarana investasi yang menghasilkan, gamer sanggup membeli ketika harga rendah dan menjualnya kembali dikala harga tinggi, fitur jual beli item yang tersedia dalam beberapa game dan platform ini sanggup dimanfaatkan gamer untuk menghasilkan.


Dari sedikit pandangan negatif yang sudah disebutkan diatas, sanggup ditarik kesimpulan bahwa bermain game bukanlah sesuatu hal yang sia-sia jikalau dilakukan dengan porsi yang tepat. Jika memang berminat terjun di dunia eSport utamanya sebagai player profesional maka cari tahu lebih dulu apakah memang punya talenta dalam dunia game atau tidak, jikalau memang tidak mempunyai talenta ada baiknya untuk tidak dipaksakan, jikalau memang ada potensi maka fokus dan dalami bidang eSport dengan sungguh-sungguh.


Jika bermain game hanya untuk hiburan, hobi dan mengisi waktu luang ada baiknya dilakukan dengan tidak berlebihan. Berikan alokasi waktu untuk bermain game dan acara lain dengan tepat. Apalagi dikala ini game online sudah menjamah ranah mobile yang dimana saja bisa main dengan modal smartphone dan internet, jangan hingga bermain game mengganggu acara utama, hindari bermain game dikala bekerja dan bersosialisasi. Bermainlah game secara bijak biar mendapat kepuasan dan tujuan yang diinginkan. Punya pendapat lain atau ingin menambahkan? Silahkan tinggalkan di komentar ya!!.






Sudah sangat lazim ditemui dalam kehidupan sehari √ Anggapan Negatif dan Keliru Tentang Game Dari Masyarakat Umum Indonesia

Related Posts:


Sumber aciknadzirah.blogspot.com