1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Selain teori mencar ilmu behavioristik dan teori kognitif, teori mencar ilmu humanistik juga penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, proses mencar ilmu harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan insan itu sendiri. Oleh lantaran itu, teori mencar ilmu humanistik sifatnya lebih abnormal dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses mencar ilmu itu sendiri. Teori mencar ilmu ini lebih banyak berbicara perihal konsep-konsep pendidikan untuk membentuk insan yang dicita-citakan, serta perihal proses mencar ilmu dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian mencar ilmu dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman perihal proses mencar ilmu sebagaimana apa adanya, menyerupai yang selama ini dikaji oleh teori-teori mencar ilmu lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan mencar ilmu yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya perihal mencar ilmu bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, menyampaikan bahwa mencar ilmu merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam insiden belajar, lantaran tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan gres ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori humanistik beropini bahwa teori mencar ilmu apapun sanggup dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan insan yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.
Pemahaman terhadap mencar ilmu yang diidealkan mengakibatkan teori humanistik sanggup memanfaatkan teori mencar ilmu apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini mengakibatkan teori humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak sanggup disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan mencar ilmu tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia.
Manusia ialah makhluk yang kompleks. Banyak andal di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi sentra perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap andal melaksanakan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya perihal bagaimana insan itu mencar ilmu ialah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat banyak sekali teori perihal mencar ilmu sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari kebijaksanaan budi di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul lantaran perbedaan sudut pandangan semata, atau adakala hanya perbedaan aksentuasi. Kaprikornus keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan banyak sekali teori mencar ilmu dengan tujuan untuk memanusiakan insan bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.
Banyak tokoh penganut aliran humanistik, di antaranya ialah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”, Honey dan Mumford dengan pembagian perihal macam-macam siswa, Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”, serta Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”.
2. Pandangan David A. Kolb terhadap Belajar.
Kolb (1939-sekarang) spesialis penganut aliran humanistik membagi tahap- tahap mencar ilmu menjadi 4, yaitu:
a. Tahap pengalaman konkrit
Pada tahap paling awal dalam insiden mencar ilmu ialah seseorang bisa atau sanggup mengalami suatu insiden atau suatu insiden sebagaimana adanya. Ia sanggup melihat dan merasakannya, sanggup menceriterakan insiden tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun ia belum mempunyai kesadaran perihal hakikat dari insiden tersebut. Ia hanya sanggup mencicipi insiden tersebut apa adanya, dan belum sanggup memahami serta menjelaskan bagaimana insiden itu terjadi. Ia juga belum sanggup memahami mengapa insiden tersebut harus terjadi menyerupai itu. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.
b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Tahap kedua dalam insiden mencar ilmu ialah bahwa seseorang makin usang akan semakin bisa melaksanakan observasi secara akatif terhadap insiden yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari tanggapan dan memikirkan insiden tersebut. Ia melaksanakan refleksi terhadap insiden yang dialaminya, dengan membuatkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap insiden yang dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap ke dua dalam proses belajar.
c. Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam insiden mencar ilmu ialah seseorang sudah mulai berupaya untuk menciptakan abstraksi, membuatkan suatu teori, konsep, atau aturan dan mekanisme perihal sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari banyak sekali pola insiden yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun mempunyai komponen-komponen yang sama yang sanggup dijadikan dasar aturan bersama.
d. Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari insiden mencar ilmu berdasarkan Kolb ialah melaksanakan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah bisa mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak dipakai untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal seruan teori atau suatu rumus, tetapi ia bisa memakai teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan duduk masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap mencar ilmu demikian dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoretis tahap-tahap mencar ilmu tersebut memang sanggup dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan dari satu tahap ke tahap mencar ilmu di atasnya sering kali terjadi begitu saja sulit untuk ditentukan kapan terjadinya.
3. Pandangan Peter Honey dan Alan Mumford terhadap Belajar.
Tokoh teori humanistik lainnya ialah Peter Honey (1937- sekarang) dan Alan Mumford (1933- sekarang). Pandangannya perihal mencar ilmu diilhami oleh pandangan Kolb mengenai tahap-tahap mencar ilmu di atas. Honey dan Mumford menggolong- golongkan orang yang mencar ilmu ke dalam empat macam atau golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflektor, kelompok teoritis dan golongan pragmatis. Masing-masing kelompok mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kelompok lainnya. Karakteristik yang dimaksud adalah:
a. Kelompok aktivis.
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok pelopor ialah mereka yang bahagia melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam banyak sekali kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini gampang diajak berdialog, mempunyai pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan gampang percaya pada orang lain. Namun dalam melaksanakan sesuatu tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian bahagia pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, menyerupai pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya, sehingga metode yang cocok ialah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b. Kelompok reflektor.
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam melaksanakan suatu tindakan, orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak gampang dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
c. Kelompok Teoris.
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka mempunyai kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan memakai penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Dalam melaksanakan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak gampang terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis.
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka mempunyai sifat-sifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting ialah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan sanggup dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat bila sanggup dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi bila itu semua tidak sanggup dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, susuatu ialah baik dan berkhasiat bila sanggup dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
4. Pandangan Jurgen Habermas terhadap belajar.
Tokoh humanis lain ialah Hubermas (1929-sekarang). Menurutnya, mencar ilmu gres akan terjadi bila ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan mencar ilmu yang dimaksud di sini ialah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, lantaran antara keduanya tidak sanggup dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe mencar ilmu menjadi tiga, yaitu; 1) mencar ilmu teknis (technical learning), 2) mencar ilmu mudah ( practical learning), dan 3) mencar ilmu emansipatoris (emancipatory learning). Masing-masing tipe mempunyai cirri- ciri sebagai berikut:
a. Belajar Teknis ( technical learning)
Yang dimaksud mencar ilmu teknis ialah mencar ilmu bagaimana seseorang sanggup berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketarampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari supaya mereka sanggup menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh lantaran itu, ilmu-ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam mencar ilmu teknis.
b. Belajar Mudah ( practical learning)
Sedangkan yang dimaksud mencar ilmu mudah ialah mencar ilmu bagaimana seseorang sanggup berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan mencar ilmu ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang serasi antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang bekerjasama dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan semacamnya, amat diperlukan. Sungguhpun demikian, mereka percaya bahwa pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak sanggup dipisahkan dengan kepentingan insan pada umumnya. Oleh lantaran itu, interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.
c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning).
Lain halnya dengan mencar ilmu emansipatoris. Belajar emansipatoris menekankan upaya supaya seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta perilaku yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang bekerjasama dengan budaya dan bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap mencar ilmu yang paling tinggi, lantaran transformasi kultural ialah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
5. Pandangan Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) dan David Krathwohl (1921-2016) terhadap Belajar.
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl (1956) juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), sehabis melalui peristiwa- insiden belajar. Tujuan mencar ilmu yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga tempat yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah berhasil menyampaikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam membuatkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan mencar ilmu yang akan dicapai, dengan rumusan yang gampang dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan sanggup merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling terkenal di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga tempat dalam taksonomi Bloom tersebut ialah sebagai berikut:
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
1) Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2) Pemahaman (menginterpretasikan)
3) Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4) Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5) Sintesis (menggabungkan bagian-bagian kosep menjadi suatu konsep utuh)
6) Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide. metode, dsb.)
b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1) Peniruan (menirukan gerak)
2) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melaksanakan gerak)
3) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4) Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar).
5) Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c. Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1) Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2) Merespon (aktif berpartisipasi)
3) Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
4) Pengorganisasian (menghubung- hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
5) Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bab dari pola hidupnya)
6. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Teori humanistik sering dikritik lantaran sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini dianggap lebih bersahabat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar meterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis. Namun lantaran sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori humanistik bisa menyampaikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya insan yang ideal, insan yang dicita-citakan, yaitu insan yang bisa mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan siswa dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.
Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam mencar ilmu perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan sanggup mencar ilmu dengan baik bila mempunyai pengertian perihal dirinya sendiri dan sanggup menciptakan pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian teori humanistik bisa menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut sanggup dicapai.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah mencar ilmu pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang mudah dan operasional, namun pinjaman teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya sanggup membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan sanggup membantu mereka dalam memilih komponen-komponen pembelajaran menyerupai perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan taktik pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan insan yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan sanggup diukur, kondisi mencar ilmu yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman mencar ilmu yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna
bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, supaya mencar ilmu bermakna bagi siswa, diharapkan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan mengalami mencar ilmu eksperiensial (experiential learning).
Pada teori humanistik, guru diharapkan tidak hanya melaksanakan kajian bagaimana sanggup mengajar yang baik, namun kajian mendlam justru dilakukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana supaya siswa sanggup mencar ilmu dengan baik. Jigna dalam jurnal CS Canada (2012) menekankan bahwa “To learn well, we must give the students chances to develop freely”. Pernyataan ini mengandung arti untuk menghasikan pembelajaran yang baik, guru harus menyampaikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang secara bebas.
Pendidikan modern mengalami banyak perubahan bila dibandingkan dengan pendidikan tradisional. Pada pendidikan modern, siswa menyadari hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran, hal ini memperlihatkan hubungan dua arah antara guru dan siswa. Sementara itu, dalm pendidikan tradisional Proses mencar ilmu terjadi secara stabil, dimana siswa dituntut untuk mengetahui gosip melalui buku teks, memahami gosip yang mereka dapatkan tesebut dan memakai gosip terbut dalam acara keseharian siswa. Sedangkan dalam pendidikan modern, siswa memanfaatkan teknologi untuk menciptakan kognisi, pemahaman dan menciptakan konten pembelajaran menjadi lebih menarik dan lebih berwarna.
Pada penerapan teori humanistic ini ialah hal yang sangat baik bila guru sanggup menciptakan hubungan yang berpengaruh dengan siswa dan membantu siswa untuk membantu siswa berkembang secara bebas. Dalam proses pembelajaran, guru sanggup memperlihatkan banyak sekali sumber mencar ilmu kepada siswa, menyerupai situs-situs web yang mendukung pembelajaran. Inti dari pembelajaran humanistic ialah bagaimana memanusiakan siswa dan menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa.
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
RANGKUMAN
Menurut teori humanistik tujuan mencar ilmu ialah untuk memanusiakan manusia. Proses mencar ilmu dianggap berhasil bila siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah bisa mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifak eklektik, maksudnya teori ini sanggup memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Beberapa tokoh penganut aliran humanistik di antaranya adalah;
a. Kolb, dengan konsepnya perihal empat tahap dalam belajar, yaitu; pengalaman konkrit, pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif.
b. Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi 4 yaitu; aktifis, reflektor, teoris, dan pragmatis.
c. Hubermas, membedakan 3 macam atau tipe mencar ilmu yaitu; mencar ilmu teknis, mencar ilmu praktis, dan mencar ilmu emansipatoris.
d. Bloom da Krathwohl, dengan 3 tempat tujuan mencar ilmu yaitu; kognitif, psikomotor, dan afektif.
e. Ausubel, walaupun termasuk juga ke dalam aliran kognitifisme, ia terkenal dengan konsepnya mencar ilmu bermakna (Meaningful learning).
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berpikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
Sumber http://mialislamiyahkroya.blogspot.com