Saturday, April 7, 2018

√ Semalam, Dua Gunung

 Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantr √ Semalam, Dua Gunung


Bila di posting sebelumnya, Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantren Sintesa, maka kali ini izinkan Saya menyebarkan drama yang pernah Saya alami beberapa waktu silam.


Mendaki dua gunung dalam satu malam.


Semenjak pasang internet di Rumah, Saya lebih sering menghabiskan waktu di depan layar daripada menikmati keindahan alam semesta.


Makanya, Saya agak sedikit terganggu dengan foto-foto para pecinta alam, katanya, yang diposting di sosial media.


Saya sebut ‘katanya’ alasannya yaitu dalam kenyataannya mereka hanya melabeli diri dengan nama ‘Cinta Alam’; tidak benar-benar cinta alam.


Buktinya apa? Nanti Saya kasih tahu di bawah.


Sementara foto yang menciptakan Saya terganggu, Kamu niscaya sering melihatnya. Iya, foto kertas betuliskan, “Indonesia itu indah, bro, jangan di Rumah terus.”


Saya lupa tanggal pastinya, tapi seiring banyaknya orang yang upload foto itu, menciptakan Saya sedikit tertarik mencoba mendaki gunung.



Libur Telah Tiba. Hore. Hore. Hore


 Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantr √ Semalam, Dua Gunung


Saya mendaki dua gunung ini bersama teman satu organisasi ekstra kemahasiswaan. KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), namanya.


Wacana yang diangkat adalah: My Trip My Tafakur.


Iya. Kami membawa nama ‘muslim’ di organisasi, masa’ hanya naik gunung, foto-foto, terus turun lagi. Gak ada nasihat yang diambil selama perjalanan, kan gak lucu, ya?


Jadilah hari itu diputuskan. Bertafakur di Gunung Papandayan dan Cikurai, Garut.


Kenapa dua gunung ini?


Alasan pertamanya adalah: dekat. Pft.


Alasan lainnya alasannya yaitu salah satu rekan organisasi Saya ketika itu, rumahnya sempurna di Lereng Gunung Cikurai.


Intinya, silaturahim ke Rumahnya, sungkem ke orang tuanya. Barangkali jadi jalan rezeki, kan? Lagipula, kata rekan Saya, di tempatnya banyak ladang pertanian. Kaprikornus sekalian saja. Siapa tahu dikasih bumbu.


Mari Bersiap Siaga


 Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantr √ Semalam, Dua Gunung


Saya anak rumahan. Sedikit tidak mungkin punya perlengkapan untuk mendaki. Satu-satunya yang saya miliki hanyalah jaket gunung.


Jaket yang dibeli dengan niat gaya-gayaan saja. Serius.


Akhirnya, Saya sanggup carier model jadul. Itu pun sanggup pinjam dari rekan SMK. Tidak apa-apa, yang penting bawa nyali.


Peralatan yang Saya bawa ketika itu tidak banyak. Hanya mie rebus, syal, dan botol berisi air mineral ukuran besar.


Oh, ya, alasannya yaitu barang bawaan Saya sedikit, jadinya dititipi barang punya orang lain; matras, peralatan masak dan nesting, dan gas portabel.


Percaya atau tidak, Saya naik gunung pakai celana pelatihan dan sepatu jogging.


Mari Mendaki


 Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantr √ Semalam, Dua Gunung


Kami berangkat dari Tasikmalaya sekira pukul 07:00 WIB, hingga di Papandayan sekira pukul 8:30. Lalu pribadi mendaki tanpa basa-basi.


Papandayan termasuk gunung yang ‘kurang pas’ untuk didaki. Karena, berdasarkan Saya, lebih menyerupai daerah rekreasi daripada daerah pendakian.


Jalurnya landai, tidak terlalu menghabiskan tenaga. Makanya, banyak pemula menyerupai Saya memulai mencoba mendaki dari sini, Gunung Papandayan.


Tapi jangan salah … pemandangannya luar biasa indah. Tempatnya terurus. Maklum. Pulang pergi lereng-puncak sanggup dilakukan dengan cepat. Kaprikornus yang ngakunya penjaga gunung ini sanggup rajin ‘sapu-sapu’.


Pemula menyerupai Saya sanggup menghabiskan waktu dua setengah jam untuk hingga di Pondok Salada, daerah luas di Gunung Papandayan yang sering digunakan para pendaki untuk mendirikan tenda.


Ada toiletnya, lho.


Katanya, bawah umur KKN UNPAD yang buat. Atau ITB. Saya lupa lagi.


DI Pondok Salada ada bunga keabadian; bunga edelweiss. Entah, Saya kurang tahu kenapa disebut bunga abadi. Kalau ingin tahu, silakan cari sendiri saja, ya.


Hutan Mati


 Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantr √ Semalam, Dua Gunung


Menurut Saya, Hutan Mati yaitu daerah paling indah di Papandayan. Ada aura-aura misterius yang menarik orang-orang untuk menginjakkan kaki di sana.


Pasirnya putih, pohonnya hitam.


Semacam keseimbangan yang digambarkan oleh alam. Saya lupa berapa foto yang diambil di spot ini. Yang jelas, kami lupa diri. Wew.


Wajar. Prinsip para pecinta alam ‘kan salah satunya: Jangan mengambil apapun kecuali foto.


Ya sudah, foto-foto sepuasnya. Jangan protes.


Isi Energi Dulu


 Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantr √ Semalam, Dua Gunung


Setelah puas mengambil beberapa gambar untuk dijadikan kenangan, Saya dan rekan-rekan lekas turun ke lereng untuk melanjutkan ke jadwal selanjutnya, makan gratis. Di mana? Ya, di Rumah rekan Saya tadi.


Rasa lelah yang menjangkiti berangsur-angsur pulih. Lebih tepatnya, terlupakan. Di Rumah rekan Saya itu, badan tidak mendapat porsi istirahat yang cukup. Alasannya: kami mahasiswa.


Maksudnya?


Mahasiswa suka diskusi. Kaprikornus … dari awal hingga di Rumah rekan Saya ini, tidak pernah damai barang semenit pun. Terus saja ngobrol. Apa saja.


Hingga akhirnya, hingga pada diskusi ihwal waktu. Kapan harus melanjutkan mendaki ke Gunung Cikurai?


Ada perdebatan yang cukup panjang, alasannya yaitu Cikurai ini tidak menyerupai Papandayan yang landai. Gunung ini kebalikannya!


Saya pernah bercakap-cakap dengan rekan kuliah yang sering naik-turun gunung. Ketika ditanya, “Gunung mana yang paling cape di daki?”


Jawab rekan Saya: Cikurai.


Sepakat! Mari Mendaki (lagi)


 Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantr √ Semalam, Dua Gunung


Kalau tidak salah ingat, kami mencapai mufakat sekira pukul 20:00.


Hasilnya: Langsung manjat lagi hari ini.


Alamak! Tahu kalian jam berapa Saya dan rekan-rekan berangkat ke lereng Cikurai? Jam 24:00.


Sudah malam, gelap, jalan menuju lerengnya juga butuh perjuangan. Sampai-sampai salah satu motor di rombongan kami berasap, tidak besar lengan berkuasa manjat.


Itu gres perjalanan ke lerengnya saja.


Setelah hingga di pos pemberhentian, kami bariskan motor supaya aman, kemudian melaju sejurus kemudian.


Pukul 01:00 kami mulai mendaki, melewati kebun teh yang tanahnya licin bekas hujan. Wajar, sih, kan Saya pakai sepatu jogging.


Saya kurang mengerti jalur apa yang diambil, silakan cari sendiri opsi jalur yang ada di Gunung Cikurai. Saya tidak akan menulis apa yang tidak saya ketahui. Atau lupa.


Baru hingga pos satu, Saya sudah kelelahan. Entah, rekan-rekan Saya sudah hingga di pos berapa, yang terperinci Saya tertinggal jauh.


Sekira pukul 02:30 malam, Saya memutuskan untuk berhenti di awal pos dua menuju pos tiga. Sendiri. Air habis. Gerimis. Tidak ada senter.


Saya benar-benar menduga berjalan di urutan terakhir rombongan. Tapi ternyata, yang kami jadikan leader alasannya yaitu sudah berpengalaman masih di belakang. Alasannya mencari paralone air.


Dahulu, di Pos dua, katanya, ada paralone yang sanggup diambil airnya untuk para pendaki. Tapi kini sudah tidak ada. Makanya, leader tadi masih di belakang, mencari-cari paralone yang hilang.


DIa memotivasi Saya untuk terus bergerak supaya tidak terlalu mencicipi dingin. Saya memaksakan diri untuk mengikuti proposal dia hingga hingga di pos tiga.


Saya istirahat di sana hingga shubuh. Shalat sembari menunggu leader yang sedang turun lagi ke lereng mengisi jerigen 10lt. Gila.


Singkat cerita, Saya dan rekan-rekan hingga di Puncak CIkurai siang hari, sekira pukul 13:00 jika tidak salah.


Cuacanya tidak mendukung. Mendung. Tenda pun segera didirikan untuk kami beristirahat.


Dan benar, di Puncak turun hujan. Jangan tanya bagaimana suhu di sana. Pokoknya benar-benar drama, seluruh badan bergetar kedinginan, entah berapa skala richter.


Tidur di bawah tenda yang dihantam buliran air langit sungguh tidak enak. Sudah begitu, satu tenda rame-rame. Tidur desak-desakan.


Ah …


Semua Lelah yang Terbayar


 Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia hingga alhasil hingga di Pesantr √ Semalam, Dua Gunung


Sekian.



Sumber https://satriabajahitam.com